Kamu masih sama seperti dulu. Yang hatinya mati entah karena apa. Tapi, aku tahu kamu di sana. Menoleh ke belakang untuk menungguku kembali.
***
Hujan lebat di luar sana, memecah kesunyian ruang kerjaku. Kertas berserakan seperti biasa. Cangkir kopiku yang habis menyisakan ampasnya tergeletak begitu saja di lantai. Ini sudah berlangsung sejak pagi tadi. Besok adalah hari penting dan aku tidak akan meninggalkannya. Gelar profesor akan menyanjungku, dan aku akan bertemu dengannya. Seperti malam-malam inilah aku, masih menantinya berada di belakangku. Dan ketika aku menoleh dia masih di sana. Ya dia masih di sana. Merawatku jika aku sakit, membuatku tenang jika di sisinya. Seketika aku tersenyum. Bahagia memikirkannya, adalah sesuatu yang bisa aku lakukan saat ini.
Aku ingat ketika internship kita yang pertama. Dia berada di departemen bedah syaraf dan aku berada di departemen anak. Dia selalu tenang ketika ada masalah atau kesulitan ketika dia menghadapi pasien. Mungkin karena itu aku tergila-gila. Ya tergila-gila sejak aku tahu kami satu rumah panti yang sama.
***
"Aku ingin jadi dokter, Lin," kataku suatu hari padamu. Sama seperti anak panti yang lain, kamu masih terlalu polos untuk mengerti visi hidupku. Kamu masih menyebutnya cita-cita, yang kau tahu sejak sekolah dasar.
"Kenapa, Bang? Karena Abang pintar, terus pengen jadi dokter?" tanyamu polos.
Aku tersenyum dan mengusap rambutmu yang dikepang dua. "Entahlah. Yang aku tahu itu keren."
"Kalau gitu, Ulin juga pengen jadi dokter. Biar keren kayak Abang!" serumu dan aku memelukmu. Peluk yang selalu ku dapat dengan mudah, tapi, tidak lagi.
Ulin dan aku, sekian dari anak panti yang mungkin kurang beruntung dan sedikit beruntung. Kurang beruntung karena kita tidak punya orang tua. Dan beruntung karena kami anak yang cukup cerdas untuk bisa bersekolah. Ulin anak yang bandel dan sering kali dipukul penjaga panti. Aku anak yang paling tua saat itu ketika Ulin masuk panti, dan dengan sukarela aku sering mendapat hukuman menggantikan Ulin. Sejak saat itu, rasa sakit terlihat berbeda ketika ada dia. Aku selalu ingin melindungi anak-anak panti, yang selalu ku anggap adik, sama halnya dengan Ulin, aku akan melindunginya di manapun dan kapanpun.
Karena kami anak cerdas dan pintar di panti, kami selalu dipasangkan. Hanya kami berdua yang dapat bersekolah saat itu. Saat itu umur Ulin 13 tahun, kelas 1 SMP dan aku 18 tahun, kelas 3 SMA hampir lulus, dan aku meninggalkannya. Pemilik rumah sakit terbesar di kota ini, mengangkatku sebagai anak. Berjanji menyekolahkanku di sekolah kedokteran yang aku idam-idamkan.
"Lin..." panggilku ketika aku mengetuk pintu kamarnya.
Tak lama kemudian ia muncul membuka pintu. Dia masih remaja kelas 1 SMP, tapi yang ku tahu, penampilan dan kepribadiannya lebih dari seorang remaja 13 tahun. Dia tumbuh menjadi gadis. Yang tak ku mengerti, kenapa dia sangat cantik ketika aku meninggalkannya?
"Iya, Ri?" matanya mengerjap. Lihatlah, dia bahkan tidak memanggilku dengan embel-embel bang sejak dia lulus SD. Dia benar-benar sudah dewasa.
"Kamu kemarin bertanya, tentang kenapa orang bisa jatuh cinta, pemicunya adalah otak bukan hatinya. Iya kan?" tanyaku dan Ulin mengangguk antusias.
"Iya. Terus kenapa, Ri?"
Aku menghela napas. Aku mendekat padanya. Ku rengkuh tubuhnya yang kecil. Penjaga panti mungkin akan marah besar jika aku memeluknya layaknya orang pacaran. Tapi, aku tak peduli. Hari ini adalah hari terakhirku di sini, esok pagi aku akan dibawa keluarga pemilik rumah sakit itu. Yang mungkin tak ku temukan Ulin di sana. Tubuhnya menegang, aku bisa merasakan kecanggungan yang dibuatnya. Tapi, lagi-lagi aku tak peduli. Aku butuh tubuhnya untukku bisa meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...