Kau membuatku untuk berani dalam menghadapi kesulitan. Layaknya aku harus meninggalkanmu, dan membiarkanmu lupa tentangku. Keberanian itulah caraku untuk hidup. Hidup dalam sesal
***
Aku masih memperhatikan titik cantik itu di layar hpku. Satu-satunya caraku untuk bisa mengawasimu. Melihatmu dari jauh. Aku tak percaya ketika akhirnya aku bisa menemukanmu. Di jalan saat kita menyeberang. Tahukah kamu saat itu, aku sedang memikirkanmu? Gadis kecil berusia 12 tahun, yang selalu ku jaga dan ku lindungi seperti layaknya teman. Namun, kau muncul ketika aku menyelamatkanmu, persis yang terjadi saat kita pertama kali bertemu di taman rumahmu. Kau sedang belajar naik sepeda waktu itu, ketika aku akhirnya di usiaku yang menginjak 20 tahun harus berkerja menjadi bodyguard seorang pimpinan perusahaan tambang batu bara yang terkenal itu. Kau hampir jatuh, tapi, dengan sigap aku menangkapmu.
"Kau... teman yang dibayar ayahku?" tanyamu.
Aku mengangguk. "Ya."
Kau tersenyum. Ya, senyum yang masih ku ingat. Senyum gadis kecil yang membuatku jatuh cinta. Kau memberikanku sebotol yoghurt. Aku menerimanya dengan bingung.
"Karena kau temanku, kau harus menerima ini."
"Kenapa?"
"Karena akhirnya kau resmi menjadi temanku. Teman baikku. Kau teman pertamaku."
"Benarkah? Kenapa harus yoghurt?" tanyaku menunjuk yoghurt yang ku pegang.
Kau hanya mengedikkan bahu. "Yah... karena aku tak bisa meminumnya. Jadi, karena aku tak punya yang lain, aku memberikannya padamu."
Aku tersenyum dan meminumnya. Itulah minuman pertama kesukaanku, sejak kau memberikannya pertama kali.
"Jadi, namamu siapa?"
"Albra. Albra Parais."
Kau mengangguk. "Aku ingin merasakan mempunyai teman dengan panggilan yang ku sebut sendiri. Bagaimana kalau aku memanggilmu Al?"
"Baiklah. Aku setuju."
Tanganmu bersalaman denganku dan aku menjabatnya. "Namaku Ulin."
Ya namamu Ulin. Gadis kecil yang selalu ku cari keberadaannya. Gadis kecil yang hilang karena ulahku. Gadis kecil yang menolak ingat dan harus lupa karena suatu kejadian. Aku menyesali tindakan tersebut, hingga membuatku mencarimu setiap hari. Juga membuatku terus memikirkanmu.
Dan kini aku tak menyangka bisa bertemu denganmu. Lebih terkejutnya lagi gadis kecil yang ku kenal adalah seorang dokter. Dokter syaraf. Dokter Ulin. Gadis kecil yang tak berdaya, sampai ku lihat garis wajahmu yang bertambah tegas, kuat, seolah telah menjalani kehidupan yang panjang dan berat. Lalu ketika aku menyadari itu adalah dirimu, secara diam-diam aku menyambungkan pendeteksi lokasi di hpmu. Sehingga, aku tetap bisa memantaumu, melihatmu dari jauh, meski itu hanyalah titik. Titik yang cantik.
***
Aku melihatmu sedang menangis. Ada apa? Aku mengikutimu hingga kau akhirnya duduk di bangku taman.
"Kau membutuhkan ini."
Aku menyodorkan yoghurt itu. Yoghurt yang kau berikan persis saat kita pertama kali berteman. Juga pertama kali aku meyukaimu. Kau menerimanya. Entah karena kegilaanku atau memang aku tak waras, aku membelikanmu itu. Merasa penasaran kenapa kau tak pernah bisa meminum itu.
"Terima kasih," katamu perlahan.
"Untuk apa?" tanyaku sambil menatapmu.
"Aku bersembunyi untuk dicari. Dan kau menemukanku saat aku memang ingin dicari."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...