Dia berada di sana saat aku membutuhkan perlindungan. Seolah waktu telah mengaturnya.
***
Tak ada hentinya aku memikirkan Abang. Mimpi buruk yang menghantui Abang pagi hari ini. Aku juga merasa bersalah dengan sikapku hari ini. Sikapku yang terlalu protektif kepada Abang. Sampai menutup hari pun aku tidak melihat Abang sekali pun. Selain, aku yang sibuk dengan pasien, juga aku yang sibuk dengan pikiranku sendiri. Bagaimana aku meminta maaf padanya? Aku memikirkan itu seharian ini, karena merasa tak enak dengannya. Walaupun kami sangat dekat, tapi aku masih menghormatinya sebagai kakak dan sebagai orang yang lebih tua dariku.
Jadi, hari ini aku memutuskan untuk membelikan Abang sesuatu. Sebuah sogokan agar ia memaafkanku, meski aku tahu dia memang memaafkan segala kesalahan yang ku lakukan padanya, sekecil apapun itu. Malam itu di toko kue depan rumah sakit, aku memutuskan untuk membeli beberapa kue di sana, khusus untuk Abang. Aku keluar dari toko kue itu, dan menyeberang jalan. Beberapa orang berkumpul di pinggir jalan menunggu kendaraan berhenti. Entah pikiran yang mengganggu atau karena aku melamun tak jelas menyediakan skenario yang ku katakan ke Abang, kakiku mulai melangkah. Menghiraukan kendaraan yang berlalu lalang, sampai...
"Awas!"
Aku mendengar suara gedebuk keras, bumi menerima tubuhku yang bergelimpang. Juga orang itu. Seorang laki-laki dengan balutan kemeja putih dan jas hitam. Seseorang yang menyelamatkanku. Seseorang yang tiba-tiba datang, mengingatkanku dengan ingatan yang hilang.
***
Aku mengintip ruang pos penjagaan dekat bangsal luka. Aku menaruh lelaki itu di lantai begitu saja. Aku mulai panik ketika dia mulai tak bereaksi dan pingsan ketika aku memeriksanya. Beruntung ia menyelamatkan seorang dokter. Aku berjingkat melangkah ke dalam, dan mengintip ruang koas. Ah aku pikir aku bisa meletakkan lelaki itu di sana. Sungguh aku tak ingin ditanyai tentang peristiwa kecelakaan-yang-hampir-membunuhku. Beruntung koas-koas itu sedang melihat pasien, sehingga kamar mereka yang berantakan itu kosong. Aku mulai memapah lelaki itu ke dalamnya. Melepas sepatunya, mengendurkan ikat pinggangnya, mengendurkan dasi hitamnya, dan melepas kancing atasnya.
Orang ini benar-benar tak asing. Dimana aku pernah bertemu dengannya? Aku memeriksa keadaan vitalnya. Nadinya bergerak cepat. Aku menyambar begitu saja stetoskop milik anak-anak koas di meja belajar. Aku takut sekali jika aku mematahkan tulang lelaki ini, atau memecahkan kepalanya meski aku bisa menangani hal itu. Yang jelas ketika aku mendengar kedebuk keras itu, dia sangat beresiko mengalami gegar otak ringan.
Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki yang mendekat. Aku sigap memeriksa dan benar saja. Koas-koas mulai kembali, sesegera mungkin aku menutupi lelaki itu dengan selimut dan keluar dari kamar.
Untung koas-koas itu tak tahu aku memasuki ruangan mereka tanpa ijin sehingga aku pura-pura memeriksa laporan yang ada di pos penjagaan.
"Kalian selesai?" tanyaku berusaha tenang dan menyapa.
Koas-koas tersebut menyapaku juga dengan hormat sekali. Ya aku memang konsulen yang sadis bagi mereka.
"Dokter Ulin belum pulang?"
Aku menggeleng. Mungkin dengan memberi mereka pekerjaan membuat mereka bisa menjauh dari kamar koas itu.
"Kalian, pindai handbook di ruangan saya. Kumpulkan besok pagi di ruangan saya. Dan ingat saya akan menjaga pos ini, jangan sampai kalian masuk ke dalam kamar koas," kataku tegas dan mulai terdengar eluhan dan beberapa mungkin mengutukku dalam hati. Aku tak peduli, aku memang biasa mendengar hal itu.
Mereka kemudian pergi setelah mengucapkan salam. Aku menatap mereka sampai jauh, dan membuka pintu kamar tersebut ketika lelaki itu juga berada di depan pintu. Menatapku dengan entah ekspresi apa itu. Oh Tuhan aku tidak boleh berteriak keras!
"Udah bangun?" tanyaku berusaha tidak menatapnya terlalu lekat.
Dia hanya mengangguk. "Boleh tahu aku lagi di mana?"
"Rumah sakit," jawabku singkat. "Sekali lagi terima kasih telah menolongku. Aku benar-benar tak tahu bagaimana jadinya nggak ada kamu di sana. Terima kasih!" kataku sambil membungkuk beberapa kali.
Dia memegang lenganku. Ya ampun, dia memegang lenganku dan tersenyum.
"Tak apa," timpalnya singkat dengan senyum itu.
Kami diam beberapa saat di mulut pintu itu. "Ah ya kau harus diobati!" kataku panik dan berbalik ketika tangan itu meraih lenganku lagi. Oh Tuhan! Aku tak menyangka masih bisa jatuh cinta dengan umurku yang kepala tiga!
"Sungguh, aku baik-baik saja. Aku akan ke rumah sakit besok, untuk menemui seorang dokter!" serunya dan aku menatapnya.
"Tapi... aku dokter," kataku lemah dan menatap ekspresinya yang kebingungan.
Perlahan tangannya melepas lenganku. "Kau... dokter? Benarkah?" nadanya yang meledek itu membuatku pasrah mengangguk. Ayolah jangan tersinggung. Aku memang kebetulan sekali tidak memakai jas putihku itu kemana-mana. Terlebih aku memang terbebas dari jam jaga.
Dia tertawa canggung dan menggeleng kepalanya seolah tidak percaya. "Maaf. Karena kau memang tidak pakai jas putih," katanya dengan nada menyesal. Kalau dia bukan penyelamatku, aku mungkin akan mematahkan lehernya.
"Kau bisa ku periksa jika perlu, jadi kau tak usah repot-repot ke rumah sakit. Meskipun begitu aku juga harus membalas kebaikanmu juga," kataku sambil mengatupkan tangan. Memohon kepadanya. Dia hanya tersenyum.
Selang beberapa waktu kemudian, aku mengoompres bahunya pelan dengan kompres es. Ternyata bagian tubuh yang mengenai trotoar dan menimbulkan suara keras itu adalah adalah bahunya. Aku terlalu panik, sehingga menafsirkan itu adalah kepalanya, karena selang beberapa menit dia akhirnya pingsan.
"Jadi, kau pergi ke acara resepsi atau bagaimana?" tanyaku dengan polos. Aku memang jarang melihat lelaki dengan jas yang formal kecuali mereka pegawai kantoran atau memang memakai jas saat acara resmi. Aku ingat karena Abang memakainya saat pesta perpisahan kami saat magang.
"Tidak."
"Jadi?"
Dia lama diam tidak menjawab. Aku tidak enak hati menanyakan hal itu kepada lelaki itu. Sehingga aku biarkan ia menjawabnya nanti.
"Aku baru pulang bekerja," jawabnya akhirnya.
Ah dia pekerja kantoran. Aku hanya mengangguk mendengar jawabannya.
"Jadi, bagaimana aku memanggilmu?" Tanya pria itu.
"Dokter Ulinda. Tapi, karena sepertinya kau orang baik, kau boleh memanggilku Ulin saja."
Pria itu diam lagi. Tidak tersenyum. Hanya diam.
"U...lin?" katanya tergagap dan menatapku berkali-kali. Aku tersenyum dan mengangguk.
Dia tak menatapku lagi. "Jadi, apa kau ingat aku?" Tanya pria itu dengan ekspresi yang jelas aku tak bisa menafsirkannya. Entahlah.
Aku berpikir ulang. Apakah dia salah satu pasien VIP-ku? Pasien langganan? Teman? Siapa? Apa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya? Dia terlalu tua jika aku memang punya teman seperti dia. Pasienku rata-rata adalah orang yang terlalu muda dan orang yang tua sekali. Tapi, dia adalah pria beurmur 30an, lebih tua dari abang.
"Apa... kita pernah bertemu?"
Pria itu melongo. Dia memegang tanganku dan membuatku berhenti mengompres bahunya. Dia menatapku dari atas ke bawah dan berulang kali seperti itu. Aku menatapnya curiga, seolah dia benar-benar mengamatiku dengan detail.
"Jadi, kita pernah saling kenal?" tanyaku tapi dia tak menjawab. Hanya menatapku dengan ekspresi yang terkejut. Namun, dia menggeleng, lalu tersenyum. Aneh.
"Tidak. Kau... mirip sekali dengan orang yang ingin ku lindungi. Ah, mungkin aku harus pergi," katanya menyambar kemejanya dan memakainya. Aku menatap bingung perubahan perilakunya. Dia melangkah menuju pintu keluar ketika ku lihat ia berbalik.
"Dokter, kau ada waktu besok?"
Jam 12 tepat dan hatiku seperti digulingkan dengan ringan, berdentum dengan keras. Mengisyaratkan pertanyaan itu sebagai pertanyaan pria kepada wanita yang sedang mengajak kencan. Ah benarkah? Kalau saja aku tahu itu adalah awal dari semuanya. Ingatan yang hilang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...