Tahu apa yang lebih sakit dari patah hati? Ya kesepian. Kesepian yang tak mungkin terobati dengan keramaian.
***
Ruang baca sore itu tampak lenggang, aku bersyukur setidaknya aku bisa sendiri di sana berjam-jam. Aku melangkah ke arah rak penuh jurnal-jurnal kedokteran, memilih satu, entah aku baca atau tidak. Aku termenung, tiba-tiba saja peristiwa itu terulang lagi di benakku. Gedung teratas rumah sakit, tangannya yang membuka botolku, pernyataan teman Al yang membuatku akhirnya tahu. Seorang Ulin dibuang di sebuah panti, seorang gadis kecil yang dulunya bergelimang harta namun kesepian. Dan fakta bahwa Albra-lah yang mengirimku di rumah panti lalu membuatku lupa masa kecilku. Aku tak ingin percaya, namun, ketika gelagat Al yang mencoba 'meluruskan' segalanya, membuatku terus menghindarinya.
Aku menghela napas, mencoba membendung bening air mata yang masih tersisa. Pertanyaan yang terus memburuku, akhirnya terjawab dengan kenyataan pahit. Jadi, saat dia terlelap di ruang kamarnya malam itu, aku meneguhkan hati untuk menghapus aplikasi pelacaknya, kata temannya dia mengawasiku lewat aplikasi itu. Tanganku yang bergetar menghapus pelacak itu, hampir juga menghapus nomorku dari kontaknya, namun, ku urungkan. Aku tertawa getir, dia menemukanku dengan aplikasi ini?
"Kau akan membacanya?" Lamunanku buyar dan aku menoleh. Abang. Aku menggeleng. Lalu meletakkannya di troli begitu saja.
"Pasti berat ya?" Tak berpikir panjang aku tahu yang dimaksud Abang. Dia tahu segalanya, karena Abang di sana saat aku mendengar pernyataan itu.
Abang menghela napas dan menatapku dengan prihatin. Menarik tanganku dan membiarkanku berada di pelukannya. Menangis di dadanya yang hangat. Aku sedikit terisak. Sungguh, aku akan menerima jika orang tuaku meninggal, namun, dibuang? Dan ternyata orang tuaku saat ini tidak berusaha mencariku, menanyakan kabar apakah aku dalam kondisi yang baik selama ini.
"Kau mau dengar rahasia Abang?" Tanya Abang perlahan dan mengangkat wajahku dari dadanya. Aku menatapnya dengan air mata yang masih tersisa.
"Apa?" Tanyaku parau.
Abang hanya tersenyum. Menghela napasnya, "Mungkin tidak di sini," Abang menggerakkan dagunya dan memberi kode untuk keluar. Alisku naik satu. Apa maksudnya?
***
"Masuklah," Abang menpersilakanku masuk ke dalam apartemennya. Terakhir aku ke sini saat aku membangunkannya waktu itu. Tapi, melihat apartemennya banyak berubah, membuatku sedikit takjub.
"Aku membuang barang yang tak perlu memang," kata Abang ketika menatap wajahku yang sedikit kaget.
Aku duduk di sofa ruang tamunya. Tampak di depan televisi, berserakan lego, mobil-mobilan, dan beberapa mainan lainnya. Oh ya aku lupa Abang punya seorang anak laki-laki. Terakhir aku ke sini, bahkan mainan ini tak ada, dan ruangan ini terasa lebih lapang.
Abang lalu datang membawakanku secangkir teh dan ikut duduk di hadapanku.
"Pasti kau akan banyak bertanya, tapi, simpan dulu ya, Lin. Aku akan membahasnya satu-satu."Eh maksudnya?
"Selama kita tinggal di rumah panti, selama kita lama mengenal, sepertinya kau tak pernah tahu kenapa Abang di sana. Ya kan? Kau pernah bertanya itu, tapi, Abang tak sempat menjawab," aku mengangguk. Apa ini rahasianya?
"Orang tua Abang adalah dokter. Keduanya dokter yang hebat, mungkin karena itu Abang ingin menjadi dokter. Lalu hari itu datang, mereka jaga malam saat itu, pulang berdua, hujan deras dan ya... something happened." Aku menatapnya iba. Jadi, karena itu?
"Abang dikatakan belum cukup dewasa untuk mengklaim harta orang tua, sehingga banyak keluarga dari kedua orang tuaku, memilih untuk memasukkanku ke dalam rumah panti. Orang tua angkat Abang saat ini, adalah teman almarhum orang tua Abang. Hanya itu keluarga Abang sesungguhnya. Mereka bilang akan mengadopsiku, tepat saat kamu datang, Lin."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...