Perempuan yang Menangis

747 38 0
                                    

Kau biarkan lagunya berputar, lalu keajaiban adalah ketika kamu mengerti makna melodinya. Panjang umur Al!—kata guru privat sastra yang bosenin itu.

Ulinda, 02 Agustus 2003

Aku membaca tulisan di balik foto itu. Foto di pekarangan belakang rumah besar itu. Rumput hijau yang luas di senja pukul 4 sore. Potretnya dengan langit yang masih jingga, awan yang jarang. Potretku berdua dengan Ulin—dia yang berusaha meniup lilinnya untukku dan aku yang menghadap ke kamera. Foto pertama diriku yang tersenyum, di hari yang spesial—katanya. Aku lupa kapan terakhir aku punya hari yang spesial, aku juga lupa kapan terakhir kali aku tersenyum hanya karena merayakan ulang tahun—padahal hari itu bukan ulang tahunku. Yang jelas saat itu, Ulin menyeretku ke pekarangan belakang. Aku tertegun, dia sudah menggelar karpet dan picnic basket, dan jangan lupa kue tart yang berhias permen warna-warni.

Dia menatapku yang tertegun. Aku tak tahu harus menanggapinya seperti apa.

"Habis ini harus berterima kasih sama aku lho! Cuma aku yang tahu ulang tahunmu."

Tapi, waktu itu aku malah jengkel. Hari ulang tahun adalah hari yang tak pernah ingin aku ingat. Lalu...

"Kenapa aku harus berterima kasih?" lalu aku melengos. Tak ku sangka Ulin menarikku lagi.

"Pasti penasaran kan bagaimana caranya?" tanya Ulin tidak menghiraukan kejengkelanku. "Ayo tebak dari mana aku tahu?"

"Nggak. Males."

"Oke. Penasaran ya?" dia berdehem lalu berbisik."Kartu aksesmu. Kamu sering absen pakai password itu."

"Password apa?"

"0208. Lalu aku baru tahu kode itu tanggal. Iya kan?" tanya Ulin bangga.

Aku diam sebentar, lalu tersenyum mengejek. "Salah. Jangan sok tahu!" aku lalu ngeloyor pergi.

"Eh... kenapa sih ngeloyor mulu dari tadi?" keluh Ulin."Oke, anggap itu salah. Tapi, hargain sedikit dong aku nyiapinnya. Aku harus bolos les privat tahu!"

"Aku nggak peduli," kataku malas.

"Terus itu tanggal apa?" tanya Ulin penasaran.

Aku menelan ludah, lalu menggeleng."Bukan apa-apa..." kataku menggantung.

Aku menatap senyumku sendiri di potret itu. Sudah lama seorang Albra tidak tersenyum, kadang seorang Albra di foto itu berpikir, masihkah ia patut tersenyum di hari itu? Aku menghela napas, dadaku sesak. Lagi-lagi rasa bersalah itu datang kembali. Meski kenangan buruk itu datang, aku tak boleh lupa tanggal itu.

Aku menatap lalu lalang mobil dan motor dari kaca mobil. Mobil ku parkirkan di pinggir jalan dekat rumah sakit. Aku menatap satu-satu para tenaga medis itu keluar dari rumah sakit, namun, tak ku lihat Ulin keluar, padahal ini sudah lewat jam shiftnya. Apakah dia ada operasi mendadak? Aku meraih ponsel dan menelepon Ulin. Tak ada jawaban. Tiba-tiba sms masuk.

Ulin : Jangan telpon dulu, Al

Al : Belum pulang?

Hampir aku menekan tombol send, ketika ku lihat sosok Ulin keluar dari gerbang rumah sakit dari kejauhan. Matanya tampak sembab dan merah, sesekali ia menutup mulutnya dengan tangan. Bahunya bergetar. Aku berkilat cemas. Segera aku menekan tombol call. Ia mengangkat ponselnya, lalu tak lama kemudian dia mereject panggilanku. Satu pesan masuk.

Ulin : Aku lagi ada pasien

Al : Oh iya? Pulang jam berapa?

Ulin : Nanti aku pulang sendiri. Masih lama.

Aku menatap layar ponsel, bergantian dengan melihat Ulin dari kejauhan. Kenapa dia harus menangis di depan gerbang begitu sih? Memangnya dia tidak menyadari tatapan orang yang melihatnya?

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang