Rindu

5.1K 214 3
                                    


Tidak cukup membangun hati yang dingin. Tidak cukup membangun benteng untuk membendung hati yang rindu.

***

Aku rindu Abang.

Aku menikam setiap pertumbuhan rindu itu tiap detik. Sama seperti halnya aku bertemu dia di bangsal anak itu. Aku seperti penguntit yang selalu mencari tahu hal tentangnya, tanpa bertanya. Hingga kalimat itu keluar pada malam itu. Aku menatapnya dari balik kaca ruang tamu rumahku. Dia menatap foto kami yang sengaja ku pajang di sana. Ingin sekali memeluknya dari belakang. Dia terlihat tampan hanya dengan menatap punggungnya.

Ada beberapa alasan kenapa aku tidak pernah mengatakannya langsung. Dengan apa yang dilakukannya kepada selama 10 tahun, sudah terasa cukup untukku membalas dendam kepadanya. Tidak menyapanya, tidak memperbolehkannya ia masuk di hatiku, tidak mengijinkan ia melihat senyumku, juga tidak mengijinkan ia menoleh padaku. Ku rasa itu cukup untuknya. Tapi, aku lupa, dia pria yang bekerja keras untukku. Dan aku juga lupa, bahwa aku mengharapkannya kembali. Apa yang ku lakukan tidak ada yang membuatku merasa baik, malah membuatku menjadi seorang yang kejam dengan tega menikam rasa rindu itu.

"Aku rindu, Abang," kataku di depanmu. Kau menatapku.

Tak ku biarkan aku menangis. Aku tak boleh menangis. Merasa lemah di hadapanya.

"Kau tidak bodoh, Lin. Kau hebat. Sekarang aku kembali, bukan kah kau melihatku?" tanyamu sambil mencoba tersenyum.

Aku duduk di sampingnya. Dia merengkuhku layaknya kakak bagiku. Sudah 10 tahun aku ingin direngkuh seperti ini.

"Kau melakukannya dengan baik," bisikmu pelan di telingaku.

"Maafkan aku meninggalkanmu, Lin."

Tangisku pecah.

***

Hidupku tidak baik-baik saja setelah Abang pergi. Rutinitas harianku mulai kacau, padahal aku tahu sebelumnya rasanya terasa baik-baik saja. Aku sering merenung di sore hari, berharap Abang masuk ke gerbang rumah panti kami yang reyot, seperti biasa tersenyum padaku dan menyapa anak-anak lain. Mengajariku beberapa pelajaran dan bermain bersama anak-anak yang lain.

Lalu aku tahu aku harus bagaimana, yaitu mengejarnya seperti janjiku dulu. Menjadi dokter seperti dirinya. Aku belajar keras saat itu, sering pergi ke perpustakaan kota, sering pergi ke rumah sakit, sering pergi ke tempat Abang pernah bilang sekolah kedokteran yang dia inginkan. Itu benar-benar bekerja dalam hal memotivasi diriku. Tapi,dampaknya, aku sering kena hukuman penjaga panti karena sering pergi dan keluar panti selain pergi ke sekolah.

Aku muak dan membiarkan diriku pergi ke mana saja. Umurku baru 18 tahun, hampir lulus SMA, dan dia berumur 23 tahun. Aku tinggal di mana saja, tidur di ruang tunggu rumah sakit, dan siangnya pergi ke perpustakaan kota sampai malam. Aku juga mengambil beberapa ujian saringan sekolah kedokteran di tempat Abang bersekolah. Beasiswa penuh bagi mereka yang benar-benar pantas untuk mereka yang menginginkan bersekolah di sana. Dan aku di sana. Tapi dia tidak.

Aku muak dengan pertemuan dan momen-momen yang aku harapkan terjadi jika aku bertemu dengannya di sana. Aku benar-benar sudah menjadi Ulin yang dingin.

"Kau bisa mengunjungiku jika kamu rindu," kata Bang Ari dengan nada halus itu. Nada yang selalu ku suka dari suaranya.

Aku mengangguk. "Beristirahatlah dengan baik. Aku akan pulang."

Kau mengambil tasmu dan berdiri. Aku mengikutimu dari belakang sampai berhenti di pintu ruang tamu. Kau berbalik lagi, tersenyum. Senyum yang membuatku ingin mengambilnya dan membawanya pulang.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang