Aku meninggalkan jejak kakiku di situ dan tak menghapusnya. Mungkin kau suatu hari butuh untuk pulang agar tak tersesat di jalan yang pernah kita tapaki bersama-sama.
***
Aku melihatmu tertidur di bis kota siang itu. Duduk di dekat jendela, persis seperti dulu. Kau sering duduk di sana saat kita berangkat sekolah sama-sama, bahkan kau selalu berebut kursi denganku. Aku tersenyum mengingat itu.
"Aku duluan, Bang tadi!" omelmu ketika aku hampir saja menghempaskan diriku sendiri di kursi dekat jendela itu.
"Biar apa sih dekat jendela?"
"Biar adem," kata Ulin singkat, lalu memaksaku untuk berdiri daripada duduk. Aku hanya bisa mengalah kepadamu.
Tiba-tiba Ibu yang duduk dekat denganmu berdiri bersiap-siap keluar. Pelan-pelan aku duduk di sampingmu, sambil meneliti wajahmu.
"Maafkan aku," bisikku pelan dan kau sekarang tertidur di bahuku.
Aku mengelus anak-anak rambutmu yang terlepas tak terkendali dari ikatan rambutmu.
"Pacarnya ya, Mas?" kenek bis itu menegurku dan aku hanya tersenyum.
"Saya turun di ujung jalan situ ya, Bang," kataku tak menghiraukan pertanyaan kenek itu. Aku pelan-pelan berdiri dan meletakkan kepalamu di sandaran kursi bis. Aku berjalan lewat pintu belakang dan ku dapati kau yang terbangun kaget sampai melompat dari kursi. Perlahan aku turun dari bis, sambil terus melihatnya dari belakang. Apa kau masih marah padaku? Bahkan dengan timing pas saat itu, aku terlalu pecundang untuk menjelaskannya padamu. Terlalu takut untuk melihat reaksimu, jika kau saja berlari melihatku dengan putraku.
Bagaimana caranya aku menjelaskannya padamu? Jika kau terus menghindari pertemuan kita di kantin rumah sakit? Kau menengok ke belakang ketika Riyan dengan sengaja mengajakku bergabung. Dengan raut muka seperti itu, aku tahu kau tak ingin mendengar kata-kataku. Bahkan, helaan napasku yang terdengar olehmu. Suaraku kelu membela hatiku sendiri.
Malam itu aku biarkan menghibur diriku sendiri. Menonton bioskop dengan jadwal yang paling malam, kebiasaanku menghibur diri. Selain tak banyak pengunjung, aku bisa duduk berjam-jam di pojokan di ruang gelap. Merenung. Tak ada yang mengganggu.
Aku memencet tombol lift ke arah gedung bioskop. Potongan-potongan gambar mulai menghampiriku sebagai kenangan manis. Aku ingat ketika aku dan Ulin masih sekolah, Ulin melihat poster film yang ingin ia tonton. Aku tahu meski dia tak bilang karena menatap poster itu lama sekali, bahkan dia tak mendengarku ketika aku memanggilnya sangat keras saat itu. Aku mengumpulkan uang demi Ulin bisa menonton film kesukaannya, tapi, aku keburu sakit karena pukulan balok kayu itu sampai masa pemutaran filmnya sudah habis. Jujur aku menyesali saat-saat itu, di mana aku tak bisa mengajaknya menonton. Aku menyesal tak melihatnya tersenyum senang karena bisa menonton film itu.
Suara lift berdenting, yang artinya pintu lift terbuka. Bukan lantaiku, tapi, mungkin ada yang ingin masuk ke dalamnya. Aku mendongak. Ulin. Aku sempat kaget, begitu juga dengan dia. Kebetulan yang ajaib, tetapi juga membuatku panik. Dengan kebetulan seperti ini, bukankah aku bisa menjelaskan apa yang terjadi? Aku mulai merangkai kata-kata di otakku.
Dia berbalik dan hampir pergi. Aku ingin mengejarnya ketika serombongan orang tiba-tiba merangsek masuk ke dalam lift. Sangat banyak dan mendorong Ulin untuk masuk ke dalamnya. Ulin terdorong sampai pojokan lift dan hampir tergencet. Tanpa pikir panjang, aku segera maju di depannya, berhadapan dengannya, membelakangi orang-orang agar Ulin tidak tergencet. Tanganku tertopang pada sandaran lift, agar ada jarak antara aku dan Ulin.
Aku sedikit tersenyum. "Hai," sapaku tertahan.
Dia tersenyum malu dan terus tertunduk. Sepertinya sedikit berhasil, ketika aku melihat senyumnya, meski itu tipis sekali. Selama itulah, kami tidak bicara, hanya ada suara berisik dari orang-orang di dalam lift. Hingga lift berdenting dan membiarkan segerombolan orang itu keluar. Aku masih di posisiku dan Ulin juga, membiarkan mata kami masih saling memandang.
"Udah nggak ada tuh orangnya," kata Ulin pelan.
Aku menengok ke belakang dan menyadari semua orang tidak ada, kecuali cleaning services yang menatap kami di depan pintu lift. Reflek aku kaget dan entah kenapa bibirku kelu memberi penjelasan.
"Eh... kami..."
"Kalau beneran juga nggak apa-apa kok, Mas," kata cleaning services itu dengan pandangan sedikit... mesum. Ah aku tahu apa yang ia pikirkan. Cleaning services itu pergi dan membuat kami sedikit canggung.
"Kayaknya... cleaning services itu mikirnya rada jauh," kata Ulin sambil tersenyum.
Aku menggaruk bagian belakang kepalaku. Malu. Aku tak pernah memamerkan kemesraan di depan orang dengan adegan sevulgar itu. Pasti ketika cleaning services itu menatap kami, mengira kami sedang berciuman atau apa.
"Ah... ya," responku hanya seperti itu, saking malunya.
"Abang mau turun?" tanya Ulin. Aku menoleh. Abang?
Aku tidak menjawab, dan membiarkan Ulin keluar dari lift.
"Makasih yang tadi," kata Ulin di depan pintu lift.
Aku menyadari sesuatu. Jika ini berawal dengan baik aku akan menjelaskannya.
"Lin!" panggilku ketika pintu lift hampir menutup. Reflek ku tahan dengan tanganku. Aku mengaduh kesakitan.
Ulin hanya menatap heran. Menungguku. "Aku... sebetulnya... yang kemarin itu..."
"Mau temani aku nonton film?" tanya Ulin sambil tersenyum.
Aku tidak langsung menjawab. Menyadari Ulin memberiku kesempatan kedua. Aku segera mengangguk dan Ia tertawa dengan tingkahku. Entah kenapa cinta selalu membuatku merasa bodoh.
***
Kami duduk berhadapan di kafe bioskop, sambil menunggu jadwal film kami. Aku sudah membeli tiket untuk kami berdua, membeli pop corn dan soda, apa lagi yang ku lakukan? Canggung sekali untuk memulainya.
"Kau ingin berbicara kan?" tanya Ulin sambil menguyah pop corn-nya. "karena aku tidak menghindarimu lagi, bicaralah. Aku akan mendengarkannya sebagai pendengar yang baik."
"Yah... kemarin itu..."
"Itu anak Abang?" tanya Ulin tiba-tiba.
Aku tergagap sehingga memutuskan untuk mengangguk.
Dia hanya menghembuskan napas dan belagak berpikir. "Terus... namanya siapa?"
Aku terperangah dengan reaksinya. Dia tidak marah dan bahkan tidak menangis ketika aku mengangguk. Bahkan menanyakan nama anakku.
"Tristan."
"Oh."
Aku menghembuskan napas. Seketika tenggorokanku kering dan menyedot sodaku banyak-banyak.
"Terus istrinya Abang..."
"Udah meninggal," kataku secepat mungkin. Dia hanya mengangguk lalu menyedot sodanya. "lagian juga nggak penting dan sudah lama," kataku sambil menunduk.
Dia mengangguk mengerti. "Dia... kayak gimana?"
Aku belagak berpikir. "Yah dia seperti.... kamu."
Dia sedikit mencibir. "Ah yang bener."
Aku tertawa. "Tapi, aku salah. Dia itu berbeda."
Kami berpandangan cukup lama karena Ulin tidak juga merespon. Ya dia tidak seperti Ulin, meski aku menyayangi Vina juga. Speaker bioskop berbunyi, tanda teater kita sudah terbuka dan membuyarkan lamunan kami.
"Eh udah buka tuh," kata Ulin cepat-cepat memberesi makanan dan minuman kami di meja.
Aku masih memandanginya. "Maafkan aku, Lin."
Seketika dia berhenti dari aktifitasnya. "Buat?"
Aku menggeleng lalu menggandengnya. "Yuk," ajakku sambil tak menghiraukan pertanyaannya. Ya anggap aku sudah meminta maaf telah meragukan penantiannya selama ini. Meski itu tidak cukup. Anggap saja dia mengerti kenapa aku meminta maaf. Anggap saja seperti itu. Meski dia bertanya untuk apa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...