"Jadi, aku pernah memberi Alstroemeria itu kepadamu, Al?" tanyaku masih memastikan.
Al mengangguk semangat. Matanya tertuju pada jalanan yang lenggang. Kami akhirnya pulang, setelah menikmati sunset, pemandangan langka yang jarang aku bisa nikmati bersama teman dekat. Tapi, perkataan Al membuatku berpikir dan terus mengingat hari itu. Aku termenung lama, terasa samar-samar aku mengingat Alstroemeria yang ku lihat di toko bunga, tapi, kenapa bayangan Al sangat tidak jelas? Pelayan toko yang tersenyum kepadaku, berbicara kepadaku soal bunga persahabatan itu, dan detail setelahnya yang terasa samar. Aku juga tidak ingat merayakan ulang tahunnya—yang secara teknik aku salah tanggal. Kepalaku rasanya berat mengingat satu momen itu. Apakah aku bahagia? Apakah Al senang waktu itu?
"Lin? Kamu nggak apa-apa?" tanya Al memastikan.
Aku hanya menggeleng perlahan. "Kepalaku pusing..."
Al menatapku lamat-lamat, karena penerangan mobil yang remang-remang.
"Lin, hidungmu..." pekik Al kaget.
Sontak aku baru menyadari bajuku penuh bercak darah. Aku mimisan. Hal yang jarang terjadi padaku. Cepat-cepat aku menyentuh hidungku, darahnya mengucur deras. Segera ku bendung dengan tisu.
"Al bisa berhenti..."
"Aku cari pom bensin dulu..."
Beberapa saat kemudian, mobil sampai di pom bensin dan segera aku berlari ke toilet, membersihkan darah yang tersisa di wastafel. Al sudah di sampingku, memberikan tisu berlembar-lembar padaku. Ku lihat matanya berkilat cemas.
"Kita harus ke rumah sakit, Lin," katanya dengan nada bergetar.
Aku menahan tangannya dan menggeleng. "Aku nggak apa-apa, Al. Kamu berlebihan. Kita pulang saja..." pintaku lirih. Namun, tiba-tiba pandanganku kabur dan hampir jatuh, kalau saja Al tidak menahan tubuhku agar tidak limbung.
"Jangan konyol. Kamu sakit, Lin!" desis Al cemas.
"Aku ingin pulang, Al..." kataku sekali lagi. Memastikan aku baik-baik saja dan agar Al tidak cemas. "Kepalaku hanya pusing, Al, bukan sakit jantung," tambahku lagi.
Meski begitu Al tidak membiarkanku berjalan sendirian. Hampir saja dia menggendongku dan aku bilang aku ingin dibantu berjalan saja. Selama perjalanan, hidungku akhirnya hanya disumpal tisu. Pendarahannya agak berkurang. Tapi, tetap saja aku risih, ketika Al menatapku terus-terusan. Akhirnya aku mengalihkan pandanganku pada jalan di depan.
"Matanya ke depan, Al, atau kita tidak akan selamat," protesku akhirnya.
Al berdehem. "Hanya memastikan kau baik-baik saja."
Mataku mengerling padanya dan mendengus. Aku setengah mati menahan senyum.
"Belum tanda tangan kontrak saja, kelakuanmu sudah begini, apalagi kalau sudah tanda tangan ya..." bisikku pelan.
"Kau mau aku bersikap bagaimana?" tanya Al sinis.
"Ya, normal saja lah. Lagian aku hanya mimisan. Sedangkan kau tadi sudah menjudge aku punya penyakit parah," kataku tak tahan mengingat kejadian tadi. "Ternyata kamu bisa manis juga ya, Al." ucapku dengan candaan.
Al tak menjawab, sedangkan aku tertawa geli.
"Mana bisa aku bersikap normal, kalau aku melihat darah sebanyak itu," katanya seperti mencicit, lalu... "Aku khawatir setengah mati, Lin."
Aku menatapnya, tapi, dia masih menatap jalan. Ku lihat matanya yang berkilat cemas tadi, seolah tidak tahu harus berbuat apa. Seolah dia takut kehilanganku. Aku tak menanggapi. Kekhawatirannya bukan candaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...