Sahabat dan Alstroemeria

737 42 0
                                    

"Kadang aku membayangkan soal kematian, Al."

Malam itu di dalam mobil, kita berbincang di tengah-tengah penyamaran pekerjaan kami—aku dan Dave. Sebetulnya cukup menyebalkan karena harusnya hari ini kami libur, penyamaran ini sungguh sia-sia, mengingat dalam beberapa bulan tidak ada hasil yang signifikan. Aku sudah mulai bosan, begitu pula dengan tim kami yang merasa pekerjaan kami hanya lah mengintai seseorang yang sebetulnya kami saja tidak tahu pelakunya seperti apa.

Dave, rekanku, 7 tahun lebih tua dibanding aku. Secara tingkatan dia lebih senior. Keluarganya tidak tahu banyak soal pekerjaannya mengabdi kepada negara. Hanya tahu kalau dia pekerja kantoran di sebuah working space, seperti anak muda kebanyakan. Dia sudah beristri, anaknya baru satu, perempuan, dan masih balita. Dia bilang pamit lembur. Yeah, lembur. Ku pikir kami hanya berbincang biasa, tapi topik soal kematian terlalu serius.

Aku mengernyitkan kening. "Maksud kamu?"

Dave menghela napas. "Pekerjaan kita penuh resiko, Al."

Aku menggeleng. "Salah, Dave. Pekerjaan kita membosankan," kataku mengoreksi. "Aku pikir ketika bergabung ke BIN, mungkin aku akan duduk di depan laptop, meretas web, menangkap penjahat, lari ke sana ke mari, menjadi polygot..." aku menghela napas. "Aku menyesal kenapa tidak jadi polisi saja..."

Dave tertawa. "Aku malah membayangkan belum usia 25, perutmu sudah membuncit," ledek Dave dan aku tertawa, sambil mengangguk menyetujui.

"Tapi, aku serius, rasanya aku ingin keluar saja jadi agen BIN, hidup stabil. Pindah rumah di pinggir pantai, bekerja kantoran, berangkat pagi pulang sore, lebih punya waktu bersama Sekala..."

Keningku berkerut. "Umurmu sudah tua ya, Dave?" tanyaku heran.

"Begitulah pernikahan, Al. Kalau sudah menikah, rasanya sudah tidak ada yang dicari lagi," ujar Dave perlahan. "Lagi pula aku capek berbohong terus soal pekerjaanku kepada Sartika."

Sartika, istrinya. Aku pernah bertemu dengannya, secara tidak langsung sih. Tapi, wanita itu memang cantik dan sederhana.

"Ku kira bohong adalah keahlian kita. Aku tak perlu khawatir ketahuan," ucapku bangga.

"Kau itu benar-benar tipikal anak rekrutan baru, Al," timpal Dave sambil menyipitkan matanya. "Cobalah menikah, kau akan tahu rasanya capek berbohong kepada orang yang kau sayangi, Al."

Aku menggeleng kuat-kuat. "Berarti aku tidak akan menikah. Aku akan jadi pria berkarir dan setia kepada negara!" seruku dan setelahnya kepalaku dipukul pelan oleh Dave.

"Jangan becanda dong!" desis Dave gemas. "Lagaknya setia kepada negara, memangnya negara sudah kasih kamu apa?"

"Gaji, Dave. Istri? Dia nggak bisa menggaji kita. So, aku tidak akan menikah."

Mata Dave mengerling kepadaku. "Awas saja ya, kalau aku tahu kamu menyebar undangan," katanya sambil menimpuk lenganku.

Kami tertawa bersama dan kemudian hening. Masih tidak ada tanda-tanda target kami keluar dari gedung itu, aku sudah mengerjapkan mata berkali-kali, mengantuk. Dave berkali-kali meregangkan tangannya.

"Minum yuk," ujar Dave tiba-tiba.

Mataku melotot. "Heh! Sembarangan! Lagi jam kerja nih," omelku sambil menunjuk jam tangan.

"Sekali-kali lah. Belum pernah nakal kan?" tanya Dave lalu melepas seat beltnya. "Aku keluar dulu cari minum. Kunci pintunya..." Dave mengambil pistol dari holster di pinggangnya dan meletakkan di dashboard. "Pakai pistolku. Nggak bawa kan?"

Aku menggeleng pelan. "Tak usah. Kenapa tidak kamu bawa saja, Dave?" tanyaku.

"Terlihat mencolok. Buat jaga-jaga kalau target kita muncul."

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang