Balok kayu yang memukulku itu sama sakitnya saat kau tidak ada di belakangku saat aku menoleh
***
"Kenapa kita selalu bertemu di rumah sakit?" tanyaku dengan canda mengusir kecanggungan.
Ulin hanya diam. Menunduk di sisi ranjangku. "Sepertinya dokter baik-baik saja."
"Panggil aku Ari. Atau Abang. Begitu bukan caramu memanggilku dulu?" kataku mengalihkan pembicaraan. Memanggilku dokter, membuatku merasa asing di matanya.
"Kita rekan kerja, seharusnya aku memanggilnya seperti itu."
Aku mengangguk pasrah. "Baik, jika itu maumu."
Hening lagi. Sungguh, pertemuan pertama kami sungguh canggung.
"Apakah sakit itu kambuh lagi? Aku benar-benar minta maaf..." katamu semakin menunduk. Aku melambaikan tangan, tanda jangan terlalu berlebihan.
"Bukan masalah. Akhirnya aku punya jam weker, kalau aku kelelahan artinya aku harus istirahat," kataku sambil tertawa kecil. Lalu kau mendongak, tersenyum datar.
"Kau masih sama, Lin. Wanita yang hatinya dingin."
***
Balok kayu itu keras mengenai bagian belakang kepalaku tanpa ampun. Sedangkan kau hanya menatapnya dengan air mata berurai, menangis. Aku mengusahakan senyum, berusaha baik-baik saja. Sakit sekali. Tapi, aku sudah bilang sebelumnya, rasa sakit itu berbeda jika kau ada. Dan kau ada di sana.
"Kau bilang kau menjaga adikmu? Mana? Ulin tetap nakal dan bandel! Dia mencuri uang pemberian donatur kepadaku! Ini balasannya atas apa yang ku beri kepada kalian? Sekarang benar-benar ku renggut otak cerdasmu itu!" teriak penjaga panti itu kepadaku. Lalu beberapa pukulan balok kayu itu mengenai kepalaku. Sampai pukulan kelima, aku jatuh tersungkur. Aku tak yakin, sampai hitungan kelima pukulan itu berhenti, yang jelas semua gelap.
Aku hanya diberi obat puskemas saat itu dan tidur di ranjang selama beberapa hari. Tidak sekolah, tapi, aku tetap bandel membaca buku pelajaran. Takut tertinggal. Pada saat itu lah, Ulin selalu merawatku, selalu meminta maaf dengan menangis. Yang ku lakukan selalu tersenyum dan bilang tidak apa-apa. Padahal kepalaku sangat sakit meski obatnya sudah habis.
Ulin selalu disampingku. Mengambilkanku obat, membacakan buku kepadaku dan aku mencatatnya, menyuapiku makan, dan perlakuan manis lainnya. Dia jarang seperti itu saat kami internship, hanya sesekali dia berbuat manis, memberiku vitamin bila aku terlampau keras, atau secara tak sadar memberiku bantal saat aku tidur di kursi ruang tunggu. Mungkin ketika aku sakit itu, perlakuan manis terakhir yang bisa ia berikan. Ulin tipikal orang yang selalu bertindak tanpa berbicara. Dia hanya diam dan melakukannya. Perlakuan yang membuatku terkejut setiap saat dengan kejutan yang ia berikan. Mungkin hal spontanitas itu lah yang membuatku enggan menoleh kepada siapapun.
Rasa sakit itu masih ada, meski orang tua angkatku memeriksanya-mereka dokter yang handal-aku selalu menolak untuk pemeriksaan lanjut. Karena rasa sakit itu, mengingatkanku kepada Ulin. Perlakuan manisnya yang terbayang di kepalaku saat sakit.
***
Aku kembali bekerja setelah rasanya kondisiku pulih. Aku ditempatkan di departemen anak. Sembari bekerja di rumah sakit, aku juga menyelesaikan tesisku, menyambut gelar profesor itu di tanganku. Sesekali aku mampir ke departemennya, departemen dengan dokter yang keras, seperti Ulin. Juga sering berkunjung untuk menyapa Riyan, teman satu apartemen.
"Kau mengenal Dokter Ulin sejak kecil?" Riyan terperangah, aku seperti biasa menanggapinya dengan tertawa.
"Dia itu dokter beda syaraf berdarah dingin, kau tahu?" gumam Riyan sambil masih mencomot kentang goreng di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...