Kontrak dan Batas

858 50 0
                                    

Semakin lama kita hidup, semakin banyak pula kehilangan yang mampir, silih datang dan pergi. Layaknya daun kering yang terpisah dari ranting-ranting pohon dan jarum jam yang berpindah dari angka satu ke angka yang lain. Orang-orang justru takut kehilangan dan rasa memiliki secara bersamaan, bukankah itu aneh? Namun, justru aku merasakan itu bersamamu.

***

Aku benci batas. Garis-garis yang membuatku tidak dapat melewatinya. Garis-garis di mana hanya si pembuat batasnya lah yang menentukannya. Lalu kita akan terpekur menatap garis itu, di garis itu lah tembok tinggi dan kokoh yang akan menghalangi segalanya. Aku senang sebentar lagi segala misteri di kehidupanku akan terungkap, aku senang semuanya kembali meski aku tak dapat mengingatnya. Terkadang aku berpikir, bagaimana jika aku tidak siap? Atau lebih tepatnya bagaimana jika aku tidak bisa menerimanya?

Aku masih terpekur dalam lamunanku. Layar laptopku yang masih menyala dan cursor yang berkedip-kedip tanda aku harus mengetik sesuatu. Kontrak? Kenapa berteman dengan Al harus ada kontrak? Apakah ada batas yang tak bisa ku lewati? Apakah aku tak boleh menolak segala pernyataannya tentangku yang dulu? Bagaimana bila dia berbohong, agar aku bisa menerimanya?

Aku mengetuk keras keningku dengan bolpoin. Kontrak dan masa laluku ini membuatku frustasi.

"Kamu kemarin tidak mampir..."

Sekejap aku terkejut dan kursi di sampingku bergerak, tergeser ke belakang. Aku mendongak.

"Kamu nggak apa-apa kan, Lin?" tanya Abang menatapku lamat-lamat.

Aku hanya mengangguk. "Kamu berhutang penjelasan kepadaku," katanya sambil menyentuh puncak kepalaku.

"Abang kok tahu..."

"Biasanya kalau ada yang bikin pikiranmu resah, kamu selalu sembunyi di perpustakaan."

Tipikal. Kadang saat kamu punya orang yang sangat dekat denganmu dan mengerti dirimu, hal yang kau benci adalah ketika kamu tidak bisa bersembunyi. Kalau dipikir-pikir kenapa Abang dan Al hampir sama? Mereka selalu bisa menemukanku, saat aku berusaha untuk bersembunyi dari segalanya.

"Abang juga berhutang penjelasan kepadaku..."

Alis Abang naik satu. "Maksud kamu?"

"Saat aku di apartemenmu, kami bilang kamu luka karena jatuh. Padahal nggak kan?"

Abang berdehem sebentar. Dia tidak ahli dalam berbohong. Matanya hanya menatap sekeliling sedangkan aku berusaha menatap matanya. Jangan lari, kataku.

"Harus tahu banget ya?" tanya Abang meledek.

Oh, oke ayo kita luruskan lagi pembicaraan ini. Dia berusaha berkelit. Aku mengangguk mantap.

"Jadi, aku mengatakan sesuatu. Tapi, itu sedikit mengejutkan bagi keluargaku dan bagi teman-temanku, termasuk Rania."

"Terus?"

"Ya... ada kalimat yang bikin Rania terkejut dan tidak bisa menerima keputusanku. Baru aku sadar kalau dia menyukaiku, Lin!" serunya kemudian.

"Ah sudah ku duga!" seruku heboh.

Abang hanya nyengir. "Iya, Lin, benar. Dia masih menyukaiku, bukankah itu gila?!"

Aku melongo mendengar pernyataan Abang. Jadi dia tidak tahu kalau Dokter Rania masih menyukainya?

Aku berdehem. "Itu nggak gila. Tapi memang benar. Abang nggak sadar juga ya?" kataku heran.

Raut mukanya terlihat bingung. "Dia selalu merayuku, aku kira itu hanya main-main. Lagi pula aku nggak percaya kalau dia benar-benar menyukaiku. Dia temanku, Lin."

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang