Kalau karma itu ada, aku mulai mempercayainya sekarang. Menyakiti seorang gadis kecil yang ku cintai, ternyata juga bisa menghilangkan dia dari hidupku. Lagi. Mungkin mencoba menjelaskan juga tak akan mengubah sikapnya padaku. Dia tak akan mengerti. Aku juga tak akan mengerti. Jadi, setelah beberapa hari aku mulai enggan menemui dirinya, berturut-turut pula hidupku kembali datar. Mengerjakan apa yang menjadi perintah bos besar, lalu mengimbangi dengan bersenang-senang dan menyapu bersih memoriku bersama Ulin.
Mungkin aku akan mencoba pil yang pernah ku berikan padanya dulu. Kepahitan hidup justru harus dihilangkan agar kita bisa kembali hidup tanpa beban, menatap ke depan. Namun, bagiku justru aku tak punya pilihan. Aku punya pekerjaan yang tak mungkin ku lupakan, dan Ulin... aku tak akan melupakan dirinya.
Ada yang berbeda setelah aku menjauh darinya. Selain, hidup yang datar (dan membosankan) aku mulai rutin mendatangi beberapa klub malam. Ah, bukan... aku tidak suka bersenang-senang dengan wanita, melainkan mencoba menyapu 'memori' memuakkan ini sedetik saja dan keesokan harinya mendapati diriku dengan sakit kepala yang hebat lalu menjalani hidupku yang datar.
Lalu entah bagaimana hari ini berbeda. Jam 9 malam setelah pulang dari rumah dingin Bos Besar, aku kembali mendatangi klub malam seperti biasa yang aku kunjungi. Menatap pria-pria setengah mabuk berdansa di tengah ruangan klub dan aku yang mulai menghabiskan 2 gelas alkohol.
Aku tertawa. Memantikkan korek dan mengambil sebatang rokok lalu menjepitnya di bibir. Aku berhenti merokok, bahkan selama 5 tahun setelah Ulin dengan kejamnya aku buang di rumah panti lusuh di sudut kota. Namun, alkohol sepertinya tidak cukup menghapus wajah Ulin di bukit bintang malam itu, sehingga aku menghisap asap rokok itu, memenuhi paru-paruku. Aku sedikit terbatuk-batuk, namun, aku kembali menghisapnya kembali.
Sesosok wanita dengan pakaian minim, melirikku dengan centil. Aku tersenyum. Menemui diriku seperti lelaki kesepian, yang ditinggal kekasihnya hanya karena kesalahan konyol. Padahal, selama ada Ulin, tentu saja aku tak pernah berminat dengan wanita manapun di dunia ini. Namun, malam ini berbeda. Aku tersenyum lebar kepada wanita itu, lalu wanita itu menghampiriku dengan segelas alkohol besar.
"Nggak usah. Saya punya," kataku menolak dengan jahil dan menunjukkan gelasku padanya. Dia hanya nyengir.
"Nggak apa-apa. Ini buat kamu," katanya memaksa.
"Buat kamu saja. Biar saya bayar minumanmu," kataku tetap menolak lalu menghisap kembali asap rokok.
Dia hanya mengangguk dan duduk di sebelahku. "Saya lihat kamu terus ke sini selama berhari-hari. Dan sendirian. Kenapa?" Wanita itu menekankan kata sendirian dan menatapku.
Aku memincingkan mata, lalu tak menjawab. Memilih untuk tersenyum masam dan mengisap rokokku yang masih setengah batang. Untukku yang berhenti merokok, mengisap batang rokok ini terasa cepat. Namun, tentu saja wajahmu tetap ada di benakku, Lin. Gadis kecil yang selalu tersenyum.
"Ada masalah?" Desaknya setelah tak kunjung mendengar jawabanku.
"Hanyalah masalah konyol. Bagi pria seperti saya, yang tak pernah berpikir untuk patah hati, ternyata ini menyakitkan juga," kataku sambil tertawa lirih. Ah, kenapa aku menangis? Apa karena aku telah menahan ini selama berhari-hari? Seperti luka yang menginfeksi, lalu aku yang menganggapnya baik-baik saja.
Wanita itu mengangguk pelan. "Patah hati ya?"
Aku menoleh. "Kamu pasti nggak pernah patah hati. Kamu dicintai banyak pria, selain itu kamu dibayar. Bukan kah itu menyenangkan?"
Dia tersenyum masam. "Mencintai dan dicintai itu konteks berbeda. Apalagi dicintai hanya karena nafsu. Itu sama sekali berbeda," katanya sambil menggeleng perlahan. "Bagi saya yang pelancur, mungkin saya tak pernah patah hati, tapi, mustahil untuk mencintai orang lain. Jadi, saya memilih begini," jawabnya dengan senyum datar.
Aku hanya mengangguk dan mengambil batang rokok dari tempatnya. Saat aku menjepitnya di bibirku, lalu bersiap menyalakan korek, wanita itu mencabut perlahan rokok itu dari bibirku. Lalu menggantinya dengan bibirnya menempel di bibirku.
"Jadi, bolehkah aku menjadikanmu patah hati pertamaku? Just tonight."
Aku terkesiap. Kembali bibirnya menempel di bibirku, tangannya memeluk leherku, dan aku yang tak kuasa menolak. Meraba pinggangnya, dan ternyata persetan tentang film-film romantis di bioskop kemarin yang ku tonton itu benar. Bahwa hanya satu yang bisa melupakan bahkan menghapus sesorang dalam pikiranmu. Bukan alkohol, bukan rokok, apalagi pil itu, namun, orang lain. Dan biarkan aku melupakanmu, Lin. Hanya semalam. Hanyalah semalam aku tak akan mengingat wajah marahmu waktu itu. Hanyalah untuk seorang pelacur malam ini, yang menjadikanku patah hati pertamanya. Karena setelah ini aku akan kembali mengingatmu. Lalu menjalani hidup datarku, tanpa kamu.
***
'Terima kasih untuk semalam'
Riani
Aku terduduk di pinggir ranjang, menemui suratnya dengan tulisan cantik nan mungil di meja lampu duduk. Aku kembali merebahkan tubuhku di ranjang, menghirup aroma tubuhnya yang tertinggal. Riani... nama yang cukup cantik untuk melupakanmu dari pikiranku ya, Lin.
Tentu saja kini wajahmu kembali menari di pikiranku, lalu mengingat banyak tugas dari Bos Besar. Terbang ke Tanjung Pinang siang ini, lalu kembali ke Jakarta keesokan harinya. Ini akan jadi hari yang melelahkan. Namun, aku tersenyum, semakin aku sibuk, aku tak akan mengingat wajahmu, Lin. Jadi, hanya pagi ini saja ya, Lin kau boleh membuatku menjadi pria patah hati. Itu kan yang kau mau? Kau pasti balas dendam dengan apa yang ku perbuat padamu 10 tahun yang lalu.
"Morning..."
Aku terbangun, lalu tersenyum.
"Sampai kapan tidurnya? Ntar aku telat sekolah, Al!" Gadis kecil itu berbalik dan mendobrak pintu.
Mungkin aku akan berhenti minum alkohol, karena bayanganmu saat kita masih bersama di rumah dingin itu, kembali mengunjungi kotak masa laluku, Lin. Aku penasaran, apa saja hal yang kau bisa dari imajinasiku untuk menghukumku. Mengunjungiku dari sosok imajinasiku? Membuatku ingin bunuh diri? Membuatku tersiksa karena rindu? Entah, tapi, kalau semua itu adalah hal yang kau bisa, itu sangat berhasil membuatku merasa terhukum, Lin.
Aku lalu beranjak dari ranjang, menatap bayangan dari cermin. Selama aku hidup, baru kali ini aku menjadi pria yang kesepian. Sangat kesepian.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...