Tutup matamu. Mungkin berisi gelap tak berarti. Namun, buka matamu. Di sana ada aku. Yang berarti.
***
Tanganku sempurna menutup mulutku, napasku tertahan. Dan anehnya, aku menangis. Terharu. Atau mungkin ini adalah ulang tahunku yang pertama dengan kue dan api yang siap ku tiup sejauh yang ku ingat, sehingga aku menangis. 29 Maret 2019, tepat di hari di mana aku 'dibuang' di rumah panti lusuh itu. Bahkan di hari ulang tahunku pun, aku tak ingin mengingat tanggal itu lagi di ingatanku. Aku memaksa, semua hari tetap sama saja. Hingga Abang datang. Dia selalu hafal tanggal ulang tahunku. Abang akan ke kamarku dan hanya mengucapkan selamat ulang tahun plus dengan pelukan. Tak ada kue tart, tak ada kado, karena kami mungkin terlalu miskin untuk merayakan dengan atribut itu. Lalu setelah pelukan itu, kami beraktifitas seperti biasa.
Aneh bukan?
Abang tampak terkejut menatap mataku yang mengeluarkan bulir air mata. "Lho kok nangis? Lin? Kamu nangis?" tanya Abang panik.
Aku menggeleng sambil terkekeh. Iya ya, kenapa aku menangis? "Makasih ya," kataku tak sanggup mengeluarkan kata-kata lagi.
"Ya udah cepet, make a wish, jariku mau kebakar nih lama-lama," omel Abang membuatku tertawa geli. Oke aku pikir, ini akan menjadi ulang tahunku paling romantis, kenyataannya tak ada lilin, hanya ada korek api yang dibiarkan menyala oleh jarinya.
Aku tak terbiasa make a wish. Tapi, aku berharap, semua ini akan berakhir. Aku berharap Al akan kembali. Dan aku berharap semua yang terjadi, semoga aku bisa menerima tanpa ada dendam. Aku meniup korek api tersebut, dan api pun mati. Ruang tamu kembali gelap dan Abang terpekik pelan, mungkin takut Tristan akan bangun. Aku teringat, bahkan permintaanku tadi tak ada yang berhubungan dengan Abang. Apakah aku ingin hidup bersamanya? Apakah aku meminta ketetapan hati untuk menerimanya? Ah entahlah. Dia ada di sini sudah cukup membuatku bahagia.
Setelahnya aku memakan cheese cake yang dibawanya. Aku tahu cheese cake itu sudah tersimpan lama di kulkas.
"Lin..."
"Ya?"
"Sorry ya cuma ngasih ini..."
"Eh tahu nggak, aku nangis gara-gara apa?" tanyaku dengan ekspresi jahil.
Dahi Abang berkerut. "Apa?"
"Ulang tahunku cuma dikasih cheese cake sisa kemarin. Nggak ada lilin pula. Sebetulnya Abang niat nggak sih ngasih surprise?" ujarku pura-pura protes.
Tak ku sangka kata-kataku tadi, membuat Abang bersalah dan sedikit panik.
"Eh? Ya ampun maaf ya, Lin. Ini beneran, spontan. Aku sudah nyiapin bunga, tapi, mungkin sekarang layu soalnya aku taruh di jok mobil..."
Cup!
Aku mencium bibirnya singkat. Abang hanya terpana.
"Ya ini nih, kalau punya pacar terlalu serius, diajak bercanda nggak bisa."
Abang terkekeh pelan. "Ya gimana nggak panik coba, kamu nangis begitu. Aku kira terharu."
Tawa kami membahana di seantero ruang tamu yang gelap. Hanya ada gemerlap cahaya dari jendela apartemen oleh metropolitan yang masih hidup. Cheese cake di tangannya, korek yang tergeletak di meja, dan kami yang menerawang langit-langit ruang tamu. Seperti sedang membagi keheningan yang bersama setelah kami selesai tertawa.
***
Mataku terbangun tiba-tiba. Ah sial, aku sedang bermimpi buruk. Ku usap pelipisku yang bersimbah keringat lalu mengatur napasku sedemikian rupa. Rasanya seperti baru jogging mengelilingi lapangan bola. Ketika kesadaranku penuh, ku tatap sekeliling. TV, lampu, langit-langit... aku beringsut bangun, sehingga selimut yang menutupi tubuhku menjuntai begitu saja di lantai. Astaga! Semalaman aku tidak pulang, dan malah... ketiduran? Aku menatap tubuhku yang masih utuh dan aku masih tidur di sofa. Badanku pegal.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...