Berhenti Berjalan

2.3K 108 0
                                    

Aku lelah berharap. Sama halnya aku mulai lelah berjalan untuk mengikutimu. Dan ku temui jalan buntu yang bahkan kau tak ada di sana. Sungguh sia-sia bukan?

***

"Aku menyukaimu."

Itu kata-kataku. Dia memiliki kata-kata itu dan lancar sekali mengatakan itu di depan Abangku. Tanganku bergetar. Dadaku sesak. Lebih sesak lagi ketika Bang Ari tertawa lepas menanggapinya. Bang Ari memang tidak pernah menganggap serius, tapi, aku tahu wanita itu sangat kukuh mengatakan perasaannya. Seketika perasaan iri merambat di hatiku, lalu semakin sesak saja dadaku. Kenapa dia bisa seakrab itu? Bang Ari yang begitu dekat denganku saja, tidak memperlakukanku seperti itu.

Aku hampir saja meninggalkan tempatku berdiri ketika Abang melihatku. Dan tampak tidak keberatan, Ia menyapaku. Dengan sangat entengnya dan ringannya. Apakah dia tidak menyadari ada sesuatu yang bersuara. Suara hatiku yang sedang patah. Ah dia tak tahu. Karena dia memang tak mencemaskan itu. Aku berusaha bersikap biasa saja. Seolah aku menirunya juga. Seolah tidak apa-apa, karena adegan itu memang lumrah dan wajar.

"Ari teman dekatku sejak kami sekolah," kata wanita bernama Rania itu sambil mengaitkan lengannya ke lengan Abang. Dan Abang merasa tidak keberatan. Bahkan merasa biasa. Jadi, apakah itu namanya teman dekat? Bisa sebebas itu melakukan kontak fisik layaknya kekasih? Dumalku dalam hati. Aku terus menatapnya seolah aku ingin mengancurkan lengan wanita itu.

Astaga dadaku nyeri sekali menatap pemadangan itu. Oh ibu, apakah sesakit ini menyukai seseorang? Dan ketika aku pergi, Abang bahkan tidak mengejar.

Ketika sampai di rumah sakit saja, aku bahkan tak sanggup menangis, karena terlalu sakit. Ah wajar sekali, Abang memang tipikal pria idaman. Dia tampan, pribadinya baik, dia menyukai anak-anak, dia pintar, dia memperlakukan wanita dan temannya dengan baik, dan juga pribadinya yang sangat dewasa. Aku harus mengetahui fakta itu. Fakta bahwa aku tidak lebih hebat daripada Abang dan aku hanya anak kecil dimatanya. Seorang gadis kecil yang menyukainya dan tak bisa berbuat apa-apa untuk mewujudkan perasaan itu. Ya, itulah aku.

Aku duduk di bangku taman rumah sakit, karena dadaku semakin sesak. Bangku taman rumah sakit ini letaknya di bangsal penyakit dalam. Tidak terlalu ramai dan selalu sepi, sehingga aku bisa bersembunyi di dalamnya. Pasien pun tak terlalu banyak yang berlalu lalang.

"Kau membutuhkan ini."

Aku mendongak. Abang!

Ah bukan. Pria itu. Pria dengan jas hitam itu. Aku hampir saja tersenyum karena aku terlalu berharap Abang menghampiriku di sini.

Pria itu menyodorkan sebotol yoghurt. Aku tersenyum. Aku menerima yoghurt itu. Pria itu duduk di sampingku. Aku menimang yoghut itu antara meminumnya atau tidak.

"Terima kasih," kataku perlahan.

"Untuk apa?" tanyanya sambil menatapku.

"Aku bersembunyi untuk dicari. Dan kau menemukanku saat aku memang ingin dicari."

Pria itu menghela napas. "Aku kemarin kan bilang akan bertemu denganmu. Jadi, aku harus menepati janjiku."

Aku tersenyum. Andai dia mengatakan itu saat aku kecil, mungkin aku terharu. Dia pria yang baru ku kenal, tapi, dia sangat peduli.

Pria itu meraih botol yoghurt dari tanganku, membuka bagian tutup botolnya dan menyodorkannya lagi padaku.

"Aku tak tahu apa yang terjadi denganmu, tapi, ketika aku meminum yoghurt moodku selalu baik. Aku harap begitu juga denganmu."

Aku menerima botol itu lagi. "Karena kau telah menemukanku, aku akan meminumnya."

Aku meneguk yoghurt itu sedikit. Aroma stroberi begitu kuat di mulutku. Aku heran, untuk ukuran pria tangguh sepertinya, yoghurt rasa stroberi terlalu imut baginya.

"Kau tahu kenapa aku ingin jadi dokter? Ku rasa bukan karena aku pintar. Aku bodoh. Karena kebodohanku itulah aku jadi dokter," kataku masih dengan tatapan lurus.

Pria itu hanya diam mendengarkan.

"Aku tidak ingin menjadi dokter. Aku ingin menjadi dokter karena aku menyukai seseorang. Karena aku menyukainya, aku harus bisa seperti dirinya," aku berhenti ketika dadaku semakin sesak. "Yah... tapi ketika aku sudah setara dengannya, aku kira semuanya akan mudah. Ternyata aku salah. Kesalahan itulah hukumanku."

"Aku tidak bisa memungkiri bahwa aku merupakan gadis kecil di matanya. Aku... aku lupa itu..." kataku dengan terengah-engah. Aku memukul beberapa kali dadaku yang semakin sakit.

"Kau melakukan dengan baik. Kau... membuat keputusan dengan baik, aku tahu itu. Karena kau memang seperti itu," kata pria itu tanpa melihatku.

Aku tersenyum. "Kau tahu, aku membutuhkan kata-kata itu. Jadi, hah... terima kasih. Meski aku tak tahu namamu... aku harap kita jadi teman yang... baik..."

Pria itu menoleh ketika aku menghentikan kalimatku. Menatap kejanggalan pada diriku. Raut mukanya seketika cemas. Dia memegang bahuku perlahan, sedangkan aku memegang dadaku sedari tadi.

"Kau... baik-baik saja? Ulin? Dokter Ulin? Kau baik-baik saja?"

Aku tak sanggup menjawab karena saking sesaknya. Aku berusaha mengangguk dan seketika saja semuanya gelap. Tubuhku ambruk tepat di pelukannya. Dia memanggil namaku, sampai aku tak mendengarnya lagi. Aku hilang kesadaran. Segalanya menjadi gelap sekali, dan aku sendirian di kegelapan itu. Ya, terima kasih. Sebelum kegelapan itu menghampiriku, kau ada di sisiku sekarang ini. Terima kasih.

***

"Ayah... aku takut. Ayah jangan pergi," kata gadis kecil itu sambil memegang tangan Ayahnya erat. Pintu rumah itu digedor sangat keras, membuat gadis kecil itu semakin ketakutan.

Pria tua itu mengelus rambut putrinya perlahan. Tangan satunya tampak memegang botol penuh obat. Pria tua itu masih mengusahakan senyum, seolah segalanya akan baik-baik saja. Ia seraya menyerahkan botol itu kepada putrinya.

"Ayah tak akan pergi, ayah janji."

"Janji?"

"Ya. Ayah hanya akan bertemu dengan orang-orang di luar sana. Selama Ayah menemui mereka, mau kah putri Ayah minum obat ini untuk Ayah?"

Gadis kecil menerima obat itu sambil tersenyum dan mengangguk semangat. Ia tenang, karena Ayahnya tak akan pergi meninggalkannya jika ia meminum obatnya.

"Bagus. Itu putri Ayah yang pintar."

Pintu rumah itu semakin keras digedor dari luar. Teriakan massa semakin menggema, meneriakkan kata-kata kasar. Pria tua itu berdiri, berbalik. Menutup pintu kamar putrinya. Menguncinya dari luar. Seorang pria berjas hitam yang sejak sedari tadi mengawal mereka, tinggal di kamar itu, menunggu gadis kecil itu meminum obatnya.

"Kau... harus meminumnya. Kau janji kan dengan ayahmu?" kata pria berjas hitam itu.

Dengan tak sabar ia menyambar botol obat itu, membuka tutup botolnya dan menyodorkan kepada gadis kecil itu. Gadis kecil itu tampak ragu, namun, ia teringat dengan ayahnya. Sesegera saja ia menegak pil itu dan ia pun tertidur dengan lelap. Bersamaan dengan itu, tubuhnya terangkat. Orang-orang di luar semakin membabi buta, mengatakan sumpah serapah. Namun, gadis kecil itu tertidur pulas.

***

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang