Bagaimana Kabarmu?

2.3K 105 0
                                    

Dari beberapa perasaan sukaku kepada orang lain, mungkin ini adalah rasa suka yang paling lama. Dan rasa suka yang paling menyakitkan.

***

Grep!

Aku menahan lengannya di antara segerombolan orang yang menyeberang. Aku menatapnya. Mata yang sembap. Apa yang kau lakukan, Albra? Apa yang dilakukan lelaki itu kali ini? Aku menghembuskan napasku keras.

"Bagaimana kabar Dokter Ulin?"

Dia tak menjawab. Sedangkan lampu akan berganti menjadi hijau. Ayolah, Lin. Kita harus cepat-cepat berjalan, atau kita akan diklakson berkali-kali lalu malu bersama-sama.

"Dokter?"

"Kau..."

"Ya?"

Tiba-tiba dia memukul dengan keras bagian dadaku berkali-kali sambil terisak.

"Astaga! Kau kemana saja? Aku hampir gila menunggumu di sini. Kenapa kau harus muncul dengan ekspresi datar seperti itu?" omel Ulin sambil terisak dan terus meracau.
"Kau bisa menyimpan pukulanmu paling keras, Dok. Tapi, kita harus cari tempat yang enak kan?" daguku bergerak menunjuk beberapa mobil yang menunggu kami.

Ting! Lampu hijau mulai menyala dan aku menggenggam tangannya, menggandengnya dan dengan tergopoh-gopoh menyeimbangi langkahku, Ulin mengikutiku. Maafkan aku yang baru datang, bahkan ketika kau membutuhkan aku. Aku terlalu takut dengan reaksi yang kau berikan. Aku memikirkan tiap malam, bagaimana ketika aku muncul begitu saja di depanmu? Tak akan bicara lagi padaku? Itu part yang paling buruk, jika aku menunjukkan siapa aku. Iya kan, Al?

"Kenapa kau baru muncul sekarang?" Tanyanya dengan sisa-sisa sesenggukannya.

Aku memberikan segelas coklat panas padanya. Kami duduk di taman kota dekat zebra cross tadi.

"Kenapa kau menerima yoghurt itu, kalau kau tahu akan mati?" tanyaku balik.

Astaga, Al. Ini bukan saatnya membalik pertanyaan macam itu kan? Kenapa tak bisa kau tahan mulut itu sekejap saja?

Aku menatap perubahan ekspresinya. Dia hanya tersenyum takzim. Jawablah, Lin.

"Kau sudah tahu jawabannya kan?" dia kembali bertanya padaku.

Apa? Tentu saja tidak! Apakah dia harus sepintar itu agar aku berpikir lebih keras? Aku menatap segelas coklat panas yang aku tawarkan padanya. Jangan-jangan dia juga tidak bisa meminum coklat ini? Jangan-jangan dia akan menerima begitu saja tanpa memberitahuku bahwa coklat ini juga bisa membuatnya mati?

"Itu untukku kan?" tanya Dokter Ulin sambil menunjuk coklat panas yang ditodongkan padanya. Tak sampai ia menerimanya, aku segera menegaknya habis. Takut ia akan menerima begitu saja, lalu ia berakhir dengan kondisi kemarin. Lalu satu lagi coklat panas di tanganku satunya. Dua gelas coklat panas telah habis, dan sekarang tenggorokanku rasanya panas.

Ulin melongo sebentar. Lalu tak hanya itu, dia meledak tertawa. Tawanya yang renyah, seolah memporak-porandakkan dunia. Sejak aku bertemu dengannya, ini adalah tawa yang pertama yang ku dengar darinya. Ini tawa Ulin yang dewasa, bukan gadis kecil lagi.

"Nggak panas?" tanyanya ketika selesai tertawa.

Aku menatap arah lain. Takut kepergok menatapnya lama. Aku menggeleng gagap. Ya kau tahu kan gelengan itu, seolah kau tertangkap basah mencuri sesuatu. Mencuri menatap.

"Tidak. Sama sekali. Aku... suka coklat panas," ceracauku dengan kalimat yang berantakan.

Tentu saja aku benci coklat panas. Aku lebih suka yoghurt. Coklat panas akan membuatmu mengantuk.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang