Selalu ada yang kembali untuk menyapa, bahkan menyalakan bohlam lampu yang sudah mati dan memantik harapan yang sudah padam
***
"Pak bisa cepetan sedikit nggak? Saya sudah telat," protes gadis itu kepada supirnya cemas sambil melihat jam.
Ayahnya yang memperhatikan putrinya yang gelisah itu hanya menimpali, "Siapa suruh kemarin masih belajar sampai jam 2?"
Gadis itu mendengus sebal dan tidak menanggapi tanggapan ayahnya yang tampak mengomelinya. Justru karena ujian itu, dia tidak bisa tidur. Dadanya berdebar, lalu ia memutuskan untuk membuka kembali buku tebalnya untuk terakhir kalinya. Namun, kali ini naas, dia hampir telat. Bisa dipastikan, sesampainya di tempat ujian, waktunya sangat mepet. Ditambah timpalan ayahnya yang tidak membantu sama sekali.
Sesampainya di lokasi ujian, gadis itu cepat-cepat keluar dari mobil tanpa menghiraukan ayahnya. Ia berlari di sepanjang koridor lokasi ujian yang akan menjadi tempat kuliahnya jika hasil ujiannya memuaskan. Ia berlari sampai tiba-tiba seseorang berjalan tepat di depannya.
Bruk!
Gadis itu menubruk pria itu kencang sampai barang bawannya jatuh, ia sendiri terpental. Gadis itu meringis kesakitan dan cepat-cepat memungut barang bawannya yang berantakan di lantai.
"Rania?"
Suara itu tampak tak asing. Ia mendongak. Gadis itu menatap lama pria yang baru saja ditabraknya. Yang ditatap hanya tersenyum ramah sambil memegang kertas ujiannya. Lama gadis itu terperangah seperkian detik. Pria itu... pria kutu buku yang disukainya! Gadis itu berdiri perlahan, tanpa sedetikpun berusaha berpaling dari senyum yang pernah ia kagumi. Lamat-lamat ia teringat senyum pria itu saat menolongnya di aula pusat, meminjaminya buku yang tak pernah ia kembalikan, dan ia pun penasaran apakah pria itu mencari bukunya?
"Rania Arsjad?" tanya pria itu lagi.
Apakah dia mengingatku? Batinnya. Tiba-tiba saja ada secercah rasa takut dan berdebar. Dia yakin bahwa dia tidak dikenali oleh pria itu.
Gadis itu mengangguk. Pria itu tersenyum lagi dan menyodorkan kertas ujiannya yang terjatuh. Lalu perlahan gadis itu menerimanya dengan tangan bergetar.
"Kita satu pilihan," kata pria itu. "Semoga kita bertemu di gedung ini lagi sebagai mahasiswa kedokteran."
Gadis itu tersentak. Dia mendaftar di kedokteran juga? Tanpa sadar ia tersenyum sedikit. Pria itu pergi dari hadapannya dan tiba-tiba berbalik.
"Jadwal ujiannya ditunda sejam," katanya mengingatkan.
"Eh... anu..." gadis itu tergagap, pria itu melihatnya penasaran. "Apa... kita pernah bertemu?" tanya gadis itu harap-harap cemas.
Pria itu tersenyum lagi. "Wajahmu memang tidak asing sih..." gadis itu menahan napasnya, namun, akhirnya pria itu menggeleng. "Aku bukan pengingat yang baik, tapi, aku yakin aku baru bertemu denganmu."
Bahu gadis itu merosot. Memang apa yang kau harapkan? Dia akan mengingatmu?
"Oh..." tanggap gadis itu seadanya.
"Aku pergi dulu ya! Semangat!" serunya, kemudian Ia berjalan pergi.
Dan seperti orang bodoh, gadis itu menatap punggung pria kutu buku itu menjauh. Ia tampak menyedihkan di depan orang yang ia kagumi yang diharapkan akan mengingatnya. Jelas-jelas kan pria itu memang tidak akan pernah mengingatnya! Bagaimana bisa, menyelinap di jam pelajaran hanya menatap di jendela kelasnya lalu berbalik arah ketika pria itu berjalan ke arahnya dan berharap Ia akan selalu diingat? Dia hanya bertemu dengan pria itu sekali dan pria kutu buku itu populer. Dia hanyalah remahan roti sisa yang tertinggal di meja dan bersiap untuk disingkirkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...