Sang Bodyguard Kembali

895 42 0
                                    

Kita hanyalah satu di antara kenangan yang berjejal di kepala dan siap untuk dihilangkan

***

Ucapan Riani kemarin membuatku berpikir ulang untuk menerima tawaran Bos Besar untuk menemui Ulin. Aku tahu dia mungkin tidak ingin bertemu denganku lagi, tapi, aku tak ingin hal yang sama terjadi pada Ulin saat dia berusia 12 tahun. Aku harus meluruskan apa yang terjadi 18 tahun yang lalu. Aku tidak ingin kehilangan dia lagi. Hal pertama yang harus aku lakukan adalah bertemu dia di rumah sakit. Pagi-pagi sekali aku bersiap. Ku jumpai Riani sedang menyiapkan sarapan di ruang makan. Aku mendekatinya dan menumpu tanganku di meja.

"Riani..." panggilku dan dia balas dengan gumaman.

"Ya?" Dia menimpali dan menatap padaku setelah menata piring di meja. "Kenapa?"

"Saya sudah memikirkan saranmu kemarin."

Riani mengerjap. "Oh ya? Lalu?"

"Ya, saya akan menerima tugas itu," kataku sambil tersenyum.

"Nice!" katanya singkat. "Mau berangkat sekarang? Makan dulu gih."

Aku mengangguk mantap dan membiarkan Riani menyiapkan makanan untukku.

"By the way, tadi si Ugi sudah saya kasih makan," celetuk Riani sambil menuangkan lauk di piringku.

Aku mengernyit. "Ugi? Siapa dia?"

Riani tertawa geli. "Makhluk berbulu hitam itu. Ugi namanya. Bagus kan?"

"Oh dia," aku ikut tertawa geli. Aku baru ingat kalau kucing yang kami adopsi belum mendapat nama yang pas. "Bagus. Saya malah nggak kepikiran buat menamai dia."

Kami tertawa beberapa saat, namun, suasana hening ketika kami memakan santapan di meja makan.

"Riani, soal yang kemarin itu..." aku membuka percakapan tentang ciuman itu. Dia menyimak.

"Yang kemarin?" ulangnya.

"Ya..." kata-kataku menggantung. "Maaf," kataku canggung.

Aku bahkan bingung kenapa aku minta maaf. Aku mencintai Ulin, namun, ada Riani seorang pelacur yang ada di sisiku. Dia tak banyak bertanya tentang apa yang ku kerjakan sebagai bodyguard, itu yang ku butuhkan. Pekerjaanku menuntut kerahasiaan identitasku. Aku berurusan dengan nyawa setiap harinya, dan menyadari bahwa mungkin mustahil bagiku untuk menemukan orang yang tepat untuk menerima semua itu.

"Kenapa minta maaf, Al?"

"Saya pikir kamu butuh kata-kata itu."

Riani diam sebentar dan tersenyum. "Terima kasih sudah minta maaf, sudah lama saya tak menerima kata-kata itu. Kalau itu berarti bagimu, kau memang harus minta maaf kan?"

Aku mengerjap pelan. Mengapa ada wanita sesantai itu? Riani, siapa kamu? Aku mencoba menghentikan rasa keterkejutanku dan buru-buru minum dan menyelesaikan sarapanku. Lalu berkata 'aku berangkat' meski lirih dan ditimpali dengan 'hati-hati' oleh Riani. Entahlah rasanya aku ingin hilang saja dari permukaan bumi.

***

Aku menunggu Ulin di ruang UGD rumah sakit. Hari ini adalah jadwal Ulin di UGD, aku harap aku bisa bertemu dengannya. Aku berkata pada perawat jaga bahwa aku tidak enak badan dan perawat jaga itu mempersilakanku di sebuah bed dengan tirai tertutup lalu mengatakan untuk menunggu dokter jaga. Aku nyaris tidak tidak tidur kemarin, memikirkan kata-kata apa yang harus aku katakan padanya. Mungkinkah aku harus diam seperti saat dia marah besar kala itu? Aku menggigit kuku jempolku seiring dengan berdentamnya detak jantungku. Ini adalah tugas tersulit dari Bos Besar dan aku lebih memilih untuk berurusan dengan moncong pistol anak buah musuh Bos Besar daripada berurusan dengan Ulin.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang