Tuan Yoghurt Menghilang

2.2K 115 0
                                    

Dan anggap saja kau di sana sedang mengawasiku. Lalu datang ketika aku menunggumu untuk membuka botol minumanku seperti biasa yang kau lakukan padaku.

***

Pria berjas hitam itu menghilang. Setelah 'peristiwa bunuh diriku' yang konyol sekali, aku tak menemukannya lagi. Hilang begitu saja. Dia tak ada di sana saat aku tersadar dari sakitku. Hanya perawat dan juga rekan-rekan sejawatku yang mengerubungiku. Juga ada Abang, yang cemasnya setengah mati, dan tahu kalau aku baru saja meminum yoghurt itu. Abang memegang botol yoghurt itu, entah dari mana ia tahu. Kau bodoh Ulinda. Hanya karena kau cemburu dan rasanya patah hati berlipat ganda, kau tega sekali menyesakkan dadamu dan meminum yoghurt itu demi Abang yang bahkan nggak tahu kamu sedang patah hati? Sakit?

"Jelasin ke Abang, kenapa kamu bisa minum ini?" omel Abang dan aku hanya menunduk. Tidak menjawab.

Bang Ari hanya menghelas napasnya keras. Aku tahu dia marah. Dia marah kalau sedang cemas.

Bang Ari lalu menoleh ke arah beberapa rekan sejawatku yang mengerubungiku dan memberi kode untuk meninggalkan kami di ruangan itu. Lalu entah bagaimana mereka tahu, akhirnya beberapa dari mereka akhirnya meninggalkan aku dan Bang Ari. Bang Ari duduk di sisi ranjangku dan meletakkan bekas yoghurt minumanku. Dia mengusap wajahnya, jelas sekali bagaimana dia lelah dengan sikapku akhir-akhir ini. Sikap yang membuatnya cemas berkali-kali. Salah siapa aku begini? Tentu saja dia kan? Lagi-lagi bagian hatiku yang nakal ini membela. Membela hatiku yang patah hati, padahal dia memang harus patah hati dengan harapan yang terlalu dalam kan? Mengapa aku harus membela padahal aku sukarela disakiti olehnya?

"Abang nggak tahu kenapa Ulin melakukan ini. Anggap saja Ulin tiba-tiba pengen minum yoghurt itu. Jadi, Ulin nggak perlu bilang apa-apa ke Abang. Oke?" kata Abang sambil mengelus puncak kepalaku.

Ah bagaimana ia masih bisa senyum begitu dengan wajah yang lelah dan menahan emosi? Dia terlalu sempurna untuk ukuran manusia.

"Kenapa Abang nggak pernah marah?" tanyaku tiba-tiba. Sungguh lebih baik melihatnya marah karena cemas, dengan begitu aku juga akan marah padanya, lalu aku akan takut dan melupakan perasaan ini.

"Nggak tahu. Mungkin karena itu Ulin. Jadi, Abang nggak bisa marah," kata Abang sambil menghela napas.

Karena aku? Aku? Apa dia begitu juga dengan orang lain?

"Abang pernah marah sama dia cuma gara-gara dia nggak pernah cerita penyakitnya. Abang nyesel pernah ngebentak, marah, dan berbagai sikap norak lainnya. Jadi, Abang pun nggak akan mengulanginya sama Ulin. Nggak akan."

Ya tentu saja yang dimaksud 'dia' adalah istrinya itu. Ah jadi orang yang merasa kemarahan Abang adalah dia. Aku merasa iri. Bagaimana marahnya Abang waktu itu?

"Istirahatlah. Ulin jangan sakit lagi. Oke?" ucap Abang sambil merapikan selimut yang menutupi tubuhku.

Ketika Abang beranjak pergi, aku menahan tangannya erat. Kenapa denganku? Beberapa jam yang lalu, aku terpuruk karena dia, lalu sekarang aku membutuhkannya? Abang menatap tanganku lalu dengan cepat... menggenggam tanganku, berbalik, lalu mencium keningku hangat. Sangat lama. Jadi, aku ini apa? Adiknya? Atau sesuatu yang spesial?

"Sehat-sehat ya, Lin. Jangan buat Abang cemas lagi," bisik Abang di telingaku. Lalu berbalik pergi, meninggalkan tanya di kepalaku. Aku ini apa bagi dia? Kenapa dia pernah mencium bibirku dulu? Memelukku saat dia pergi? Lalu sekarang mengecup keningku lama? Namun, di sisi lain, dia masih menggamit lengan wanita, tersenyum dengan orang lain, dan memandangku sebagai gadis kecil.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang