Dia kini berpindah rumah. Dan aku hanya bisa menatap penuh kerinduan rumah kosong itu dan berharap suatu saat kau kembali hanya untuk menanyakan barangmu yang tertinggal. Selamat jalan.
***
"Ryan..."
"Apa?"
"Ng... menurutmu kalau wanita dicium tapi dia menangis, kenapa ya?"
Ryan diam sebentar dan berhenti menulis. Dia menatapku dengan heran, sedangkan aku pun berhenti menulis juga. Lalu kami dua pria saling berpandangan seperti orang kasmaran. Aku menelan ludah dan mengalihkan pandangan.
"Kali ini siapa yang kau cium, selain Vina?" tanya Ryan curiga. Ini sangat menyeramkan ketika sahabat lelakimu tahu bahwa wanita mana saja yang pernah kau ciumi. Dan aku, bahkan memiliki ciuman pertama saat bersama Vina saja.
Aku menggeleng. "Nggak. Nggak penting," kataku tidak melanjutkan, karena kini bulu kuduku merinding.
"Rania?"
Tanpa peringatan apa-apa, Ryan menyebut nama sahabat kami dan aku terbatuk tiba-tiba. Ryan tertawa puas.
"Benar kan? Wah, aku seharusnya sudah tahu kalau wanita itu Rania," katanya terkekeh geli. "Coba bayangkan, kamu dan dia satu angkatan koas dan juga internship di tempat yang sama. Tak ku sangka, kamu bisa move on, Ri..." Ryan mulai melantur dan tidak berhenti berbicara, kalau saja aku mulai menghentikanya bicara dengan mengangkat tangan.
"Bukan... Bukan Rania. Lagi pula aku menolak tawaran untuk menjadi menantu Dokter Arsjad," elakku melanjutkan menulis. "Rania itu wanita spesial dan dia patut mendapatkan lelaki terbaik."
Ryan mengangguk penuh arti. "Dan lelaki itu kau kan orangnya?" cibirnya dan aku hanya mendengus.
"Rania?" gumam Ryan menatap ke arah lain.
Aku celingak-celinguk dan mendapati Rania datang ke rumah sakit sembari tersenyum. Ia mengangkat tangannya dan menyapa kami.
"Kamu nggak sibuk? Bukannya ini masih siang?" tanyaku cemas dan Rania menggeleng.
"Aku libur sehari. Capek banget, Ri," katanya sambil cipika-cipiki denganku dan Ryan. "Nih aku bawakan kopi," tawarnya dan ku tahu Ryan tersenyum lebar menerimanya.
"Makan siang yuk, Ran?" tawar Ryan dan Rania mengangguk.
Sembari Ryan menulis laporannya sambil meminum kopinya, aku menatap Rania yang sepertinya penampilannya berbeda dari kemarin. Gaya rambutnya berubah dan riasannya yang simpel.
"Kamu ganti model rambut?"
Rania tersipu malu dan mengangguk.
"Wah iya. Kok aku nggak nyadar? Memang kamu lagi ada kencan buta, Ran?" Ryan menatapku menggoda sambil menjawil lenganku. Aku melirik heran, kalau Ryan bertingkah lebih lanjut artinya aku bisa membungkamnya dengan keisengan yang lebih telak lagi.
"Ya nggak lah, aku sedang..."
"Rania mau dinner denganku," potongku sambil berkedip kepada Rania.
Ryan melongo dan Rania yang menggeleng tak percaya. Aku menang atas keisengan Ryan kali ini. Cukup untuk menutup mulutnya, daripada menggodaku tidak jelas.
"Hah? Jadi wanita itu..."
Aku menatap Rania. "Aku lupa bertanya tadi pagi, Ran. Tapi, kamu bisa kan makan malam di rumah orang tuaku? Mama kangen sama kamu."
Game over untuk Ryan dan aku naik level kali ini. Rania menelan ludah dan perlahan mengangguk.
"Ini pasti aku lagi mimpi..." kata Ryan tidak percaya sambil memijit pelipisnya dan pergi dari hadapan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...