Ulin, spesialis Bedah Syaraf

7.5K 305 3
                                    

Kenapa kau tak kembali seperti pertanyaanku yang sudah terjawab?

***

Pembedah harus punya kepala yang dingin, tangan yang kuat, pikiran yang jernih dan positif yang dapat membimbingnya untuk tidak goyah. Itu adalah salah satu kata dari seorang profesor tempatku sekolah dulu. Dia dokter yang hebat, dan aku ingin seperti dia. Dan keinginan itu terwujud, aku seperti dokter itu. Tapi, ketika aku sudah mendinginkan kepalaku, ternyata hati itu juga ikut dingin. Aku benci dengan orang yang tidak bekerja keras dengan sungguh-sungguh. Memerkan titel mereka sebagai dokter, tapi, sebetulnya otaknya kosong. Aku ingin seperti ini. Karena ketika hatimu dingin, kau tak akan mengikuti emosi yang membuatmu jatuh, dan itu berhasil. Sampai aku bertemu dia. Abangku. Yang pintar luar biasa. Selalu tersenyum dengan orang lain. Sejenak aku iri kepadanya. Kenapa dia bisa hangat, sedangkan aku tidak?

Aku jahat sekali, ketika membiarkannya memikirkan kata 'ah sudahlah' itu di kantin rumah sakit. Aku ingin berbalik, menatapnya lagi. Tapi, hatiku sudah terlalu dingin. Kami bertemu lagi sebagai seorang dokter. Kami internship dan resmi menjadi teman sejawat. Tapi, dia tetap abangku. Abangku yang hebat.

Aku selalu memperhatikannya dari jauh. Dia senang sekali berkunjung di bangsal anak-anak. Memberi mereka balon, mainan, dan juga sering bercerita. Dia amat pintar bercerita sejak dulu. Belakangan aku tahu, ketika kami selesai internship, dia mengambil spesialis anak dan aku spesialis bedah syaraf. Kata dokter yang lain, dia terlalu pintar berada di spesialis anak. Lebih tepatnya mereka mengasumsikan bahwa abangku itu takut mengambil resiko jika ada kesulitan dalam proses studinya jika ia mengambil spesialis yang lebih sulit, seperti jantung atau syaraf. Itu tidak benar! Dia abangku dan aku tahu dia bisa mengatasi kesulitannya dengan kejeniusannya. Dia selalu hebat dimanapun dan kapanpun. Aku selalu menirunya, meniru sesuatu yang hebat dan keren darinya.

"Semoga sukses dengan studimu, Lin," katamu saat perpisahan kami di internship hari terakhir.

Aku mengangguk tanpa menyunggingkan senyum. "Dokter Ari juga."

Dia tersenyum. Oh ibu, senyumnya manis sekali. Ingin membawanya pulang dan ku masukkan di saku jas putihku. Tanganku di dalam saku seakan bergetar.

Dia menatap ke arah sakuku, lebih tepatnya tanganku yang gemetar. "Tanganmu kenapa? Ulin sakit?"

Oh pertanyaan itu. Nada lembutnya yang mampir di telingaku seolah membuatku goyah. Tanganku semakin gemetar mengambil senyumnya untuk ku bawa pulang.

Aku menggeleng cepat. "Tidak. Aku... tidak apa-apa. Hanya sedikit... dingin," kataku lalu beranjak pergi. Bergabung dengan yang lain. Berusaha menikmati pesta. Pesta tanpa melihatnya lagi. Dia seperti biasa saling memberi selamat kepada yang lain dan mendoakan semoga studi mereka lancar. Aku juga berdoa. Kepadamu yang sudah memberi harapan hidup lebih lama.

***

Dulu aku berpikir pertanyaanmu di kantin rumah sakit. Apa kau marah? Aku tak tahu apa aku marah. Saat aku bersitatap di bangsal anak-anak siang itu, aku tahu hatiku senang melihatnya lagi. Tapi, ketika kau tanya apakah aku marah? Rasanya aku benar-benar marah. Di depan kamarku, kau memelukku. Pelukan yang tak lama, dan kau yang tidak menjawab pertanyaanku. Kenapa otak manusia bisa merasakan jatuh cinta? Aku sudah mengerti jawabannya, bahkan 1 hari setelah kau pergi.

Aku tak perlu mengejarmu menjadi dokter, kalau aku bisa membaca buku-buku itu sejak SMA. Aku sudah mengetahui jawabannya, berharap kamu kembali, seperti layaknya jawaban itu dapat memanggilmu datang kepadaku. Ternyata, tidak sesederhana itu. Aku menunggu untukku bisa bertemu dengan kamu, Abangku. Rasanya tak sabar bersekolah di satu tempat denganmu. Tapi, kau sudah menjalani koas. Aku menunggu lagi, berharap kau datang sebagai alumni di acara wisuda. Tapi, kau tak datang. Aku menunggu momen-momen di mana kita satu tempat praktek yang sama. Tapi, kau tak ada di sana. Aku bosan menunggu, dan ku biarkan hatiku dingin. Melarangmu untuk mengetuk pintuku. Ya karena 10 tahun menunggu itu membosankan. Maka, ku biarkan hati ini dingin sendirinya. Aku menyibukkan diri, melupakanmu dengan cara ini benar-benar ampuh. Aku lupa tentangmu. Tapi tidak dengan senyum itu. Yang ingin ku bawa pulang di saku jas putihku. Tidak dengan senyum itu.

Hari ini di rumah sakit tempatku bekerja kedatangan dokter baru. Entah spesialis apa. Tapi, kata staff di departemenku bilang bahwa dokter itu sedang sakit. Aku tak begitu jelas, tentang dokter itu. Aku sudah mematikan harapan, berharap dia abangku atau orang lain. Aku tak peduli lagi.

***

"Dokter, bukannya ada dokter baru? Sudah 9 hari dia tidak mulai berkerja?" tanyaku kepada Dokter Riyan yang sedang mengecek tabel pasien.

"Ya. Dia temanku," jawab dokter Riyan singkat tanpa melihatku.

"Lalu?"

Dokter Riyan berhenti mengecek tabel pasien dan menatapku. "Aku tak tahu harus menjelaskan bagaimana, yang jelas dia sedang sakit. Ada trauma di kepala, yang membuatnya berbaring di rumah sakit."

Aku diam. "Oh karena apa?"

Dokter Riyan sedikit berpikir. "Aku tak yakin. Katanya dulu, dia pernah dipukul balok kayu saat remaja. Sampai sekarang dia punya trauma itu di kepalanya. Itu akan muncul kalau dia kelelahan berat."

Aku tipikal orang yang tidak memperhatikan sekitar. Rekan-rekan kerjaku tahu aku masa bodoh dengan kabar orang, bahkan aku nggak tahu ada rekan kerjaku yang istrinya melahirkan atau apa. Tapi, gara-gara dokter satu ini, aku penasaran. Penasaran setengah mati malah.

"Terus dia dirawat di rumah sakit?"

Dokter Riyan mengangguk. "Ya. Di rumah sakit ini."

Aku terkejut. "Benarkah?"

Dokter Riyan mengangguk lagi. "Orang-orang sudah tahu dia dirawat di rumah sakit ini. Dan dokter Ulin baru tahu?" aku mengangguk.

"Jangan lihat dia, Dok. Dia nggak suka jadi perhatian dokter-yang-nggak-bisa-mulai-kerja-9 hari-karena-sakit," ungkap Dokter Riyan lalu pergi.

Ah apa-apaan itu? Apa dia bilang begitu karena aku memang ingin melihat dokter itu?

***

Aku mengintip di jendela kamar kelas satu itu. Ah sial, kordennya tertutup. Pasti ditutup karena banyak sekali dokter dan staff yang ingin melihat dokter itu. Apa iya dia tidak suka menjadi bahan perhatian publik? Sekilas mirip Abang. Dia tak suka kepopuleran, tapi, kepribadiannya yang bisa membuat orang penasaran. Tapi, dia tak suka itu. Dia lebih suka menjadi orang di balik layar, menepuk tangan di depan orang hebat. Aku tersenyum sendiri.

Aku mengintip melalui pintu yang tersemat kaca. Mengintip melalui kaca kecil itu, berharap mengetahui jengkal jari dokter itu. Lho gelap?

Brak! Dan pintu itu terbuka. Membuatku terjengkang ke belakang saking kagetnya. Sosok itu berdiri. Tubuhnya kurus tinggi, menggunakan sweater abu-abu dan celana yang warna yang sama. Berdiri tepat di depanku.

Aku terperangah. Abangku!

Seketika dia tersenyum.

****

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang