"Apapun yang terjadi jangan pernah lakukan itu sendirian. Ada aku, Ran. Selalu ada aku, sahabatmu. Mari kita lakukan semuanya bersama-sama."
"Jadi... kita tunangan?"
Sinar matahari masuk lewat jendela ruang kerjaku yang tidak ditutup tirai. Aku melenguh dan mataku berkedip berkali-kali, silau dengan sinarnya. Aku menatap lamat-lamat sekitarku, lampu kerja yang belum dimatikan, dan posisi tidurku yang miring nyaris terjatuh ke lantai. Sontak aku kaget, lalu merasakan lengan di lingkar pinggangku. Di belakang punggungku, suara lenguhan yang tak asing. Hah? Semalaman ternyata kami tidur berdua di sofa yang sempit?
Aku cepat-cepat bangun dan bangkit. Efek alkohol yang masih tertinggal, membuat kepalaku pening. Aku menoleh ke belakang punggungku dan menyadari Abang masih tidur terlelap. Boleh saja kemarin aku lupa bagaimana kami berakhir tertidur secara bersamaan tapi aku tak boleh lupa dengan apa yang terjadi sebelum kami tertidur! Apakah aku berlaku tidak semestinya? Aku menggeleng cepat. Aku benci batas, tapi, soal bagaimana aku peduli dengan moralku, harusnya aku tak lupa dengan fakta itu kan?
Aku berjalan ke arah laci meja kerjaku, mengambil pasta gigi, mengganti baju operasiku yang belum ku ganti kemarin, dan mengikat rambutku. Sesegera mungkin aku keluar dari ruangan kerjaku dan menghindari suasana canggung jika Abang tiba-tiba bangun. Aku berlari ke kamar mandi dan mungkin menunggu di sana sampai Abang pergi dari ruanganku.
Aku membuka keran dan menunduk malu. Kenapa aku sok-sokan minum juga sih? Kalau HRD tahu aku minum-minum saat jam kerja, bisa kena minus! Ah tentu saja tidak bermoral juga tidur dengan pria yang ku cintai di tempat kerja! Dengan kondisi mabuk pula! Aku menatap kucuran air di wastafel dan tiba-tiba ingatan di malam itu muncul. Tapi, itu apa ya? Tunangan? Apa dalam suasana mabuk itu Abang melamarku? Nggak kan?
"Aku bilang padanya... kalau aku akan selalu membantunya. Bodoh banget. Ari bodoh banget. Jangan-jangan selama ini Tuhan adil ya, mengubah Ari jadi dokter tapi bodoh dalam urusan begini..."
Ah, suara Abang! Tapi, kenapa beda sekali? Kenapa ucapan Abang terasa kasar di telingaku? Coba kita putar balik waktunya, Lin. Mungkinkah ada yang terlewat malam itu?
"Kamu nggak keberatan kan, Lin, menunggu sebentar? Tentu saja kamu bisa menunggu. Kamu harus bangga punya calon suami seorang direktur... ah bukan dokter dan direktur..."
Oke, aku ingat kata-katanya menyinggung direktur. Apakah saatnya Abang jadi direktur? Tapi, kenapa aku disuruh menunggu? Aku menatap bayangan diriku di cermin. Aku yakin Abang banyak bercerita kemarin, tapi, kenapa hanya kata-kata itu yang bisa ku ingat? Ku guyur wajahku dengan air mengalir dan mencoba mengingat kembali, tapi, nihil. Apa juga hubungannya dengan kata-kata tunangan?
Setelah selesai aku keluar dari kamar mandi. Sontak aku kaget ketika aku berbalik, sudah ada Riyan di depanku. Hampir saja aku memekik tertahan.
"Ngintip ya?" tanyaku tajam.
"Enak aja!" kilahnya. "Bawa charger? Pinjam dong, Lin."
"Ada tuh, di meja kerjaku. Ambil saja," jawabku enteng.
Riyan mengangguk sembari tersenyum. Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu. Mataku membelalak.
"Yan, aku ambilin, oke? Ruanganku berantakan banget!" kataku beralasan.
"Apaan sih. Aku nggak bakal ngeledek ruanganmu kok, Lin," jawab Rian enteng dan aku berkilat panik. Oke, hanya ada 2 opsi, berusaha mencegah Riyan masuk ke ruanganku atau pasrah jika Riyan melihat Abang tidur di ruanganku.
Ketika sampai di ruanganku, aku mencegah tangan Riyan memegang knop pintu. Riyan menatapku kaget.
"Berantakan.Banget. Euh... kamu nggak bakal bedain ruangan sama gudang. Jadi, aku ambilin ya?" tawarku sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
Literatura FemininaUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...