Rahasia Rania

2K 95 1
                                    

"Masih belum hilang juga?"

Aku menggeleng lemah dan dibarengi dengan helaan napas Rania. Lalu Rania tampak menulis sesuatu di mejanya dan aku mengamatinya.

"Masih suka susah tidur juga?" tanya Rania dan aku pun tak langsung menjawab.

Rania lagi-lagi melanjutkan kegiatan menulisnya dengan serius ketika aku memutuskan tidak menjawab. Dia tahu artinya kan?

"Ran," aku memanggilnya dan dia tidak menjawab. Lalu dengan mengangkat tangannya, aku lalu diam. Itu berarti dia tak ingin diganggu. Aku menunggunya selesai lalu ia pun beringsut bangkit dan menyerahkan selembar kertas dengan isian coretan resepnya.

"Jangan lupa ambil di rumah sakit," katanya singkat dan aku mengangguk.

"Ran,"

"Apa?"

"Bagaimana seorang wanita tahu kalau seorang pria serius padanya?" tanyaku kepadanya.

Satu alisnya naik. "Siapa yang kau maksud?" tanyanya curiga.

Aku memutar bola mataku. Kenapa kepekaannya hari ini sepertinya kurang dari kadar biasanya?

"Kan aku hanya bertanya," kilahku tanpa menyebutkan sebab kenapa aku menanyakan soal ini.

Dia memperhatikanku lama. Tatapan itu seolah mencari kebohongan di mataku, namun sepertinya dia tak menemukannya. Lalu ia berbalik dan duduk di meja menghadap ke arahku.

"Ya kau katakan saja," jawab Rania singkat dan enteng.

Kalau aku tidak tahu malu, mungkin aku sudah mengatakan hal sejelas itu pada Ulin. Aku mendengus sebal.

"Aku benar kan? Kalau nggak dikatakan terus apa? Bagaimana wanita bisa tahu kalau pria nggak mengatakannya?" Rania melirik sebal.

Benar juga. Tapi aku sudah mengatakan hint itu pada Ulin. Dia tak sebodoh itu kan menjawab hint-ku? Ciuman bibir, ciuman kening, lalu apa lagi yang bisa memperjelas segalanya? Tapi mengatakan yang seharusnya secara gamblang tidak semudah itu. Bagaimana kalau dia terlalu terkejut dengan pengakuanku? Astaga memang itu kan yang ia butuhkan? Untuk apa dia menanyakan itu kalau memang membutuhkan kepastian?

"Ri, perasaan itu simpel kok. Manusia saja yang membuatnya kayak benang ruwet. Yang kau butuhkan itu satu langkah lebih dekat, satu langkah membuatnya jelas dan satu langkah mengubah status. Itu saja kok," Rania mengedikkan alisnya lalu tersenyum.

"Tumben bijak," candaku dibarengi timpukan yang mengenai kepalaku.

"Aku begini juga gara-gara kamu," sindirnya seketika membuatku berhenti tersenyum geli.

"Pengalaman pribadi jangan dibawa-bawa dong," kataku kesal, membuat Rania tersenyum menggoda. Baginya sekarang peristiwa itu lelucon? Pasti sekarang dia sudah move on dariku. Pasien gangguan jiwa mungkin membuatnya lupa.

"Memangnya aku akan lupa begitu saja?" Rania meliriku sebal.

"Siapa suruh kau menyukaiku seimpulsif itu?"

Ya siapa suruh dia mengagumiku sejak pertama kali kita bertemu? Dan siapa suruh aku memberinya harapan palsu?

***
Masa-masa koas, 2010

"Makasih."

"Buat?"

"Yang tadi. Kau menyelamatkanku dari amukan konsulen," Rania tersenyum tipis dan aku hanya mengangguk.

"Jadi..." aku menatapnya dari atas lalu ke bawah. "Kok aku nggak tahu kamu di kampus? Kelas apa?" Tanyaku padanya.

"Aku kelas B," jawab Rania singkat dan aku mengangguk. Ya seingatku aku tak pernah punya teman seangkatan yang secantik ini. Dia bahkan bisa jadi seorang model. Tapi untuk jadi dokter?

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang