Bahkan ketika mimpi itu datang lagi, apakah kau ada di sana saat aku memanggilmu?
***
Lagi-lagi mimpi itu. Aku berada di rumah sakit bangsal anak-anak itu lagi. Sendiri. Gelap. Aku menatap jendela di ruangan itu, dan menatap Ulin ada di sana. Menangis hebat. Seperti saat Ulin melihatku bersama Tristan. Dia melangkah pergi. Aku hampir mengejarnya dan kakiku terasa kaku untuk berlari. Dia benar-benar jauh meninggalkanku berada di alam mimpi yang mengerikan. Aku hampir berteriak tertahan dan seketika membuka mataku.
Aku terkejut dengan datangnya cahaya matahari yang menerobos jendela kamarku. Bukankah tirainya sebelumnya tertutup? Aku menatap sekeliling. Napasku masih belum teratur. Mimpi yang terus menghantuiku selama berhari-hari sejak kejadian Ulin berlari di bangsal anak-anak itu. Entah bagaimana tidak terlupakan. Mungkin karena itu, aku sering tertidur larut malam, takut mimpi itu datang lagi. Takut air mata Ulin yang berderai-derai mampir di mimpiku.
"Lho, udah bangun?" seketika aku terbangun.
Ulin. Itu suara Ulin. Ulin berdiri di depan pintu. Memegang nampan dengan mangkuk dan cangkir entah berisi apa.
"Lin?"
Ulin hanya tersenyum malu. "Eh... tadi Dokter Olla mencari Abang. Jadi, aku ke apartemen Abang. Bangunin Abang."
"Kok bisa masuk?"
"Riyan memberikan password apartemennya Abang, makanya aku bisa masuk," jawab Ulin lalu meletakkan nampan itu di meja sebelahku. "Nggak apa-apa kan, aku masuk sini tanpa ijin? Sorry, soalnya Abang nggak bangun-bangun. Aku heran gimana Abang bisa sulit bangun pagi sekarang," omel Ulin dan aku tidak menjawab.
"Aku nggak tahu..."
"Eh?"
"Kenapa?"
Ulin meneliti wajahku. Jarak kami sangatlah dekat. Aku hampir memundurkan badanku karena wajahnya maju dengan cepat.
"Abang... baru ngapain?"
Aku sedikit bingung. "Kenapa... apanya?"
"Keringatnya. Abang... baru mimpi buruk?" pertanyaan Ulin tepat. Bagaimana keringat ini bisa terlihat jelas olehnya? Ulin memang teliti soal membedakan gestur orang di dekatnya.
Aku menggeleng. Bohong.
Ulin menatap penuh kecurigaan. Aku menghindari kontak matanya. Lalu dia beralih pada mangkuk di meja samping ranjangku. Sup ayam, dia masih ingat sarapan kesukaanku.
"Nih, aku buatkan sup ayam kesukaan Abang. Entar kalau selesai langsung mandi terus ke rumah sakit ya. Soalnya Dokter Olla bingung nyariin Abang. Oh iya terus tadi, anak-anak koas ribut nanyain kenapa Abang belum datang. Jadi... cepetan turun ya. Aku tunggu di mobil," kata Ulin panjang lebar dan menyerahkan mangkuk sup itu di tanganku.
"Lho?"
Dia tidak menyuapiku?
Ulin sedikit heran. "Lho? Kenapa?"
"Jadi, aku makan sendiri? Nggak disuapin?"
Ulin tampak berpikir keras. "Memang Abang mau aku suapin? Terus Abang lagi sakit?"
Aku berdehem sebentar. Ulin memang tidak berubah. Meski dia perhatian, dia tetap saja dingin. Dan tidak peka tentu saja. Aku memalingkan wajahku dan mulai menyedokkan sup itu ke mulutku, tidak menghiraukan panasnya kuah sup itu. Juga tidak menatap ekspresi Ulin yang kebingungan.
***
"Kok sekarang Abang gampang banget bangun siang?" tanya Ulin tanpa sedikitpun mengalihkan perhatiannya jalan di depannya. Karena kesadaranku yang masih belum pulih, Ulin ngotot menyupir mobil. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingikan katanya. Padahal kalau dia tahu, justru ketika dia menyetir aku khawatir ada hal yang tidak diinginkan akan terjadi, mengingat ketrampilan menyetirnya benar-benar mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...