Janji

1K 42 0
                                    

"Peraturan macam apa itu?"

Dor!

"Memangnya kamu super hero apa?"

Dor!

"Aku mau poin ini dan ini dihapus, setelah aku memutuskannya."

Dor!

Dor!

"Menembak memang bisa menyalurkan kekesalan, Al."

Aku menoleh ke arah sumber suara dan menemui Bos Besar telah berdiri di sampingku. Ia menatap lurus ke arah target tembakku.

"Aku tidak kesal," elakku dan kembali melepaskan peluru ke arah target.

"Kau menghabiskan peluruku, Al. Kau menghabiskannya sebelum berperang," kata Bos Besar takjim sambil melihatku.

Aku menghela napas berat dan melepas penutup telinga, juga kacamata pelindungku.

"Bagaimana Ulin? Sudah teratasi kan?" tanya Bos Besar penasaran.

Aku mendesah kesal dan melirik sinis pada Bos Besar. "Jangan menanyakan pertanyaan dengan jawaban yang sudah kau tahu sebelumnya."

Bos Besar berdecak meski ku tahu dia tersenyum kecil. "Aku tak tahu soal Ulin selain dari kamu Al."

Aku melirik Bos Besar dan menatap pada bola matanya. Saatnya dia harus tahu bahwa anaknya benar-benar menyusahkanku.

"Bos, boleh aku tanya sesuatu?"

"Ya?"

"Apakah wanita semenyebalkan itu?"

***

4 jam yang lalu...

Aku menyesap moccachinoku sambil menatap pintu, siapa tahu Ulin datang. Tapi, sudah sejak sejam yang lalu dia tak juga muncul. Aku menatap jam di pergelangan tanganku, lalu beralih ke layar handphone. Tak ada panggilan, tak ada pesan, layar itu masih gelap. Apakah ada operasi mendadak? Kenapa dia tidak mengabariku terlebih dahulu? Mataku tertuju pada map berisi surat kontrakku dengan Ulin, lalu melihatnya kembali. Lalu tiba-tiba pintu masuk berderit, Ulin tampak masuk ke dalam kafe.

Akhirnya dia datang juga. Entah kenapa cara berjalannya membuatku terpikat. Di lengannya tersampir jas putihnya—dia menyebutnya snelli. Dia menatap sekeliling kafe dan tersenyum kepadaku setelah mata kita saling bertemu dan melambaikan tangan.

Dia duduk di depanku, meski begitu senyum itu masih belum juga lepas. Sudah berapa lama aku tak menikmati senyumnya itu? Sudah berapa lama, Lin?

"Kau menunggu lama?" tanya Ulin sambil meletakkan tasnya di belakang tubuhnya.

Tidak, Lin. Sampai besok pun aku tak akan menunggu lama kalau kau datang.

"Maaf, tadi ada on call. Nyebelin banget! Ah, aku lupa tadi meninggalkan makan siangku, ku taruh di mana tadi?" gumamnya dan anehnya aku suka ketika dia bicara dengan dirinya sendiri. "Boleh aku lihat kontraknya dulu? Aku ada bimbingan dengan koas nanti, jadi tidak bisa lama-lama."

Aku membuka map dan menyerahkan begitu saja di depannya.

"Kontrakmu, Lin?" tanyaku menunggu.

"Aku belum membuatnya," katanya enteng sambil membaca satu-satu kalimatnya.

"Belum?! Sama sekali?" tanyaku tajam.

Mata Ulin mendelik. "Aku sibuk sekali. Bagaimana ada waktu luang bagi dokter super sibuk sepertiku?" bela Ulin enteng.

Bagaimana kalau aku menarik kata-kataku tadi untuknya soal bagaimana aku menyukainya?

"Memangnya aku tak sibuk?" kataku tak terima.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang