Kenapa kita terlalu percaya dengan ilusi daripada kebenaran? Ilusi membuat kita bahagia di dalamnya, pandangan kita akan sesuatu yang membuat kita merasa aman, tanpa tahu bahwa ilusi diciptakan oleh keyakinan semu.
***
"Hei."
Aku membuka mataku perlahan. Ulin. Dia tersenyum. Sedangkan aku tidak dapat membalas senyumnya. Dia baik-baik saja?
"Kamu... butuh apa?" Tanya Ulin lembut sambil tangannya yang menggenggam tanganku. Aku tak bisa membalas genggaman tangannya, karena merasa... aku tidak pantas memegang tangannya seperti itu.
"Kamu," jawabku singkat jelas mengubah ekspresi wajahnya.
"Maksudnya?"
Ayolah! Dia mencoba untuk memasang wajah bodoh kan?
"Kamu, aku butuh kamu."
Ulin hanya tersenyum. Apa maksud dari senyum itu? Lin, jangan membuatku bingung.
"Kamu..." dia melepas genggaman tangannya lalu merapikan selimutku. "Istirahat ya."
Dia hampir berbalik, hingga aku menahan pergelangan tangannya. Apa-apaan itu? Mana Ulin yang selalu cemas dan panik jika ada hal yang salah? Justru dengan sikap seperti itu membuatku bingung, dan entah apalagi sebutannya.
"Lin, aku nggak butuh istirahat, aku butuh kamu! Kenapa kamu masih nggak ngerti sih?" Kataku setengah berteriak dan membentak. Dia diam, lama dia tak berbalik. Lalu dia berbalik, menatapku dengan jenis tatapan untuk pertama kali aku bangun. Jenis tatapan yang tak ku harapkan dari Ulin.
Dia melepas perlahan tanganku dari pergelangan tangannya. Lalu dia mengambil kursi di dekat ranjangku, duduk di situ. Diam, menatapku. Aku canggung ditatapnya begitu.
"Kau.."
"Aku di sini. Masih belum cukup?" Tanyamu dengan nada datar.
Aku hanya mengalihkan pandanganku dari matanya. Tak mampu berkutik. Apa aku egois?
"Tidur, Al," perintah Ulin lalu tangannya yang mengelus lenganku.
Dan beberapa saat, aku menutup mataku, menikmati tangannya yang menyentuh lenganku. Ya, seperti yang kau lakukan dulu. Aku sering terbangun di tengah malam dan kau datang di kamarku, persis melakukan ini untukku. Sejenak aku mulai melupakan segala kecemasan yang ku perbuat hari ini, bagaimana reaksi Ulin jika dia mengetahui tentang diriku, tapi, aku lega, sepertinya cukup baik melihat sikapnya kan? Meski terlihat bukan Ulin dan janggal. Sungguh aku tak ingin memikirkan itu lagi.
***
Tangisan? Aku mendengar tangisan di dekatku. Aku membuka mata, kosong. Aku mengedarkan pandangan di ruang bernuansa putih itu. Menatap ke arah samping ranjangku. Ulin tak ada di sana. Aku perlahan bangun, memegang kepalaku yang sedang di perban. Lalu merasakan sakit di area perutku, menyibak bajuku dan menemui perban yang dililit di sekitar perutku.
Aku ingin keluar. Mencari Ulin. Aku mengambil ponselku di samping ranjangku, seperti biasa memeriksa aplikasi pelacak di handphone. Eh? Tidak ada? Aku menggeser menu layar handphoneku, dan aplikasi itu benar-benar lenyap. Di mana itu? Aku berseru panik di dalam hati. Bagaimana aku bisa menemui Ulin? Aku butuh dia.
Aku turun dari ranjang, meringis kesakitan menahan sakit di perutku. Aku mengambil jaket di sofa rumah sakit dan membuka pintu. Sepi. Aku berjalan perlahan menuju pos penjagaan, hanya ada beberapa perawat jaga.
"Dimana Dokter Ulin?" Tanyaku kepada perawat jaga dan hanya dijawab dengan gelengan.
"Al?"
Aku menoleh dan menatap Ulin dari kejauhan. Dia masih dengan senyum itu. Sebetulnya dia kenapa sih? Kenapa dia banyak tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...