Salah satu yang membuat cinta bisa rumit adalah ketika kamu tidak tahu apa yang kamu tuju. Benarkah cinta begitu membutakan? Atau dia benar-benar memberimu ruang? Entahlah
***
Jadi, ini sudah beberapa jam setelah kami bertiga berada di dalam mobil. Tanpa bicara. Aku heran bagaimana Abang bisa begitu komunikatif dengan pasien anak lain, ketimbang dengan anaknya sendiri. Bukankah yang diharapkan oleh setiap anak adalah pertanyaan "Tadi bagaimana sekolah? Apa gurunya rese dan menyebalkan? PRnya banyak nggak nanti?" Ah, memangnya kau tau apa, Lin? Bahkan aku lupa bagaimana laki-laki yang pernah jadi orang tuaku itu menanyakan itu padaku. Aku tersenyum kecut.
Aku menatap Tristan dari kemudi depan. Dia asik membaca buku. Sekilas persis dengan Abang. Sangat persis. Gelagatnya saat serius. Begitu intens. Begitu privat. Seolah kamu merasa tenggelam dan tak menghiraukan segalanya. Aku berdehem. Abang menoleh. Aku hanya melirik.
"Kenapa? Haus?" tanyanya masih dengan nada halus. Aku bertaruh, Tristan bahkan sama persis nadanya dengannya.
Aku menggeleng dan tersenyum tipis. Abang kembali menatap jalanan.
"Ng..."
Abang menoleh lagi. "Kenapa sih? Bilang aja," katanya dengan nada sabar.
"Kita makan yuk," ajakku dengan nada riang. Menyelamatkan kekuan ini. Aku menoleh pada Tristan. "Tan, makan yuk. Kamu mau makan apa?"
"Kamu serius?" Tanya Abang sambil menatap anaknya itu dari kaca spion.
"Iya lah," jawabku dengan yakin. "Nanny's Pavilion? Okay?"
Abang hanya menelan ludah dan perlahan mengangguk. Dia memang tak pernah tega untuk tidak menyanggupi keinginanku. Sedangkan ku lihat Tristan tidak terlalu berselera selain menyanggupi ajakanku. Oh ayolah, ku rasa aku melihat masalah di antara mereka. Rasanya tak tahan saja melihat mereka kaku di depanku.
Dan akhirnya kami duduk bertiga. Kali ini Tristan menunggu pesanan Hubert's Chicken Capers di seberang meja sambil membaca bukunya dan agak sedikit jauh dengan posisi kami. Beberapa kali aku menyuruhnya untuk duduk di sebelahku, namun, dia hanya menggeleng. Tipikal anak yang memang tidak bisa dipaksa, sehingga akhirnya dia duduk di seberang meja kami. Oh, Dr.Seus tentu saja. Semua anak kecil memang normal memiliki bahan bacaan seperti itu. Sedangkan ku lihat Abang hanya melamun sambil sesekali tersenyum kepadaku.
"Bang..."
"Iya, Lin?"
"Eh daripada bengong, Ulin mau tanya sesuatu boleh?"
Abang mengangguk. Ketika hampir membuka mulutku, pesanan kami datang. Duh, kenapa nggak sinkron begini waktunya?
"Tanya apa?"
Aku menggeleng. Sebelah hatiku ingin menanyakan hubungan Abang dengan Tristan namun sebelah hatiku lagi merasa aku ikut campur urusannya. Iya, memang siapa dirimu, Lin? Calon ibunya Tristan? Aku mengumpat di dalam hati.
"Soal Tristan ya?" tanya Abang sambil mengiris potongan daging Steak-nya dengan santai.
"Nggak sih..." kataku tak enak.
Abang hanya mendengus. "Ya, kalau mau penasaran soal itu, wajar, Lin. Aku bakal kaget kalau kamu nggak penasaran," katanya sambil berbisik dan sesekali melirik anaknya di seberang meja.
"Yang ku tahu Abang kan suka anak kecil..."
Abang hanya tertawa. "Lin, bukan berarti Tristan juga anak kecil, aku tidak menyukainya. Aku sangat bersyukur dia ada di dunia, Lin. Dia buah dari apa yang istri dan aku upayakan, sehingga yang di atas menghadiahkan kami sesosok Tristan."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...