Kita pernah bodoh di masa lalu. Tapi, jangan mengulang kebodohan di masa depan
***
"Maaf."
Maaf kesekian kali dari mulut Rania. Aku hanya menghela napas berat. Kalau saja ini mudah, kita takkan berakhir seperti ini, Ran.
"Kamu butuh istirahat," kataku sambil menatap tepat di bola matanya.
"Gara-gara aku, kalian harus bertengkar," katanya lagi. Aku hanya menggeleng.
"Sst udah. Aku akan berbicara dengan Riyan soal ini. Yang penting kamu sehat dulu." Aku menatapnya lagi sambil tersenyum samar sambil mengelus kakinya yang dia biarkan lurus di kasur, sedangkan aku duduk di sisi kanannya.
"Ari..."
Aku yang hampir berbalik, lalu menatapnya lagi. "Apa?"
Rania tampak ragu. "Sebelum ada Vina, sebelum kamu bertemu dengan Dokter Ulin... apa kamu sama sekali tidak mencintaiku sedikit saja?"
Aku menelan ludah mendengar pertanyaaannya. Rania menunggu jawabanku. Apa dia memang merasa begitu, sejak kami bertemu? Entahlah. Ku rasa apa yang ku tutup selama ini, membuat Rania selalu bertanya-tanya kenapa aku begitu peduli padanya.
Ya, aku dulu mencintainya. Bukan, hanya menyukainya. Dan itu dulu. Sebelum aku menyadari betapa bodohnya diriku, kalau aku berusaha menyukainya.
"Riyan selalu bercerita seorang perempuan yang menangis di Perpustakaan sendirian gara-gara nggak paham modul. Riyan selalu cerita bagaimana beban perempuan itu hanya karena ayahnya juga dokter. Riyan selalu cerita, bagaimana dia dengan sangat senangnya mendengar curhatan orang yang sedang depresi dan dia menyelamatkan orang itu."
Rania masih menyimak. Ku lihat ia menitikkan air mata.
"Ran, kalau saja Riyan tidak banyak menceritakan semua tentang dirimu, mungkin aku nggak akan menjadi sok pahlawan menyelamatkanmu dari konsulen dan kita berkenalan. Jujur saja aku penasaran, dan entah bagaimana aku mengagumi dirimu."
"Lalu? Apakah kamu mencintaiku sedikit saja?"
Aku menatapnya lama. Ya, aku mencintaimu sebelum...
"Eh, Rania tuh single nggak sih, Ri?"
Aku menoleh kepada Riyan ketika sebelumnya aku menekuri modul yang berada di peganganku.
"Rania lagi? Seriously?"
"Eh bukannya kamu bakal satu kelompok koas sama dia?" aku hanya mengangguk. Jujur saja aku tidak tertarik dengan perempuan ini, semenjak Riyan terus-terusan cerita soal perempuan bernama Rania ini selama kami kuliah. Aku sudah eneg mendengar dia membual perempuan ini. Memang dia secantik apa?
"Bantuin dia lah. Kalau kalian udah kenalan, nanti aku ngikut ya," Riyan cengengesan dan aku meliriknya tajam.
"Nggak, Yan. Lagian kenapa kamu nggak kenalan sendiri saja?" Riyan mengatupkan kedua telapak tangannya tanda memohon padaku sambil terus mengucap 'please, please!' "Suka ya sama itu cewek?"
Riyan terkesiap, lalu mengangguk. Aku hanya menggeleng pelan. "Ayolah, Ri. Bantuin temanmu ini."
Aku mengangguk enggan.
Tapi, yang tidak Rania dan Riyan tahu, selama 3,5 tahun aku mendengar ocehan Riyan tentang Rania, meski aku terlihat tidak peduli, aku begitu menikmati rangkaian cerita Riyan tentangmu, Ran. Gadis kikuk, yang meskipun lamban, kau berusaha untuk sedikit lebih maju ke depan, meski kau tahu kau takkan mampu melakukannya sendirian. Entah apakah aku menyukai cerita tentang dirimu atau memang sosokmu yang ku sukai, Ran. Aku tak tahu. Tapi, yang jelas meski aku menyukai apapun itu darimu, aku harus menguburnya dalam-dalam sebelum tumbuh perasaan yang tak semestinya aku rasakan sebagai sahabatmu dan Riyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...