Aku menyentak tangannya ketika Abang mencoba mendekatiku. Ingatan macam apa itu? Pandanganku kosong, perlahan air mata turun seketika, tak tahu harus berbuat apa dan berkata apa lagi. Mungkin itu sebabnya dia tak pernah memberi cincin saat melamarku, iya kan? Sejenak pikiran tentang ia melamar wanita lain membuatku tersingkirkan. Bang Ari, seorang dokter, orang tuanya dokter, memiliki segalanya bahkan meski dia berada di rumah panti, sudah didapuk menjadi direktur sebuah rumah sakit meski ia seorang yatim piatu. Dia bersinar, dia pantas berada di tempat itu, bersama wanita lain, yang derajatnya setara. Tiba-tiba saja, aku merasa tidak pantas.
Aku tidak mendengarkan penjelasannya setelah aku menjauh darinya. Pandanganku buram karena air mata, bahkan ku lihat Riyan menyapaku dan menatapku heran. Bertanya apakah aku baik-baik saja. Tidak, jawabku. Lalu masuk ke dalam ruangan kerjaku. Rasanya aku tak bisa menahan untuk tidak menangis, ini sungguh menyebalkan.
Tapi, lebih menyebalkan lagi ketika ada orang lain sedang memergokimu tidak baik-baik saja padahal kita berusaha berbohong. Pria itu, yang menyampirkan jasnya di kepalaku, sehingga orang-orang tidak perlu melihat mataku yang memerah, menyebalkan. Benar-benar menyebalkan. Dia terlalu banyak bertanya. Terlalu banyak ikut campur dengan kesedihanku! Namun, yang tidak pernah aku lupakan adalah mata sendunya ketika menatapku menangis. Pandangan macam apa itu?
Aku membuka mata, tampak langit-langit yang kabur lalu asing. Aku menatap sekeliling, lampu yang redup, kasur yang asing, dan segalanya yang tidak familiar. Di mana ini? Aku berusaha bangun, meski pun kepalaku sangat sakit. Dari luar terdengar suara berisik, aku mengerdipkan mata. Ketika aku keluar dari kamar itu, tampak siluet seorang pria sedang sibuk di depan kompor. Sontak wangi masakannya tercium di hidungku. Menyadari aku memperhatikannya, ia balik menatapku.
"Sudah bangun, Lin?"
Aku mengangguk, lalu menghampirinya. Sekilas aku menatap Abang tersenyum, namun, aku salah. Mendadak rasanya ada yang hilang, setelah ini aku tak akan lagi menemuinya di dapur, membuatkan sesuatu untukku. Ya Tuhan aku capek menangis!
Pria itu mempersilakanku duduk di dekat pantry dan menyajikan hidangan untukku. Aku terdiam sesaat. Mie instant?
"Adanya hanya itu. Siapa tahu bisa menghilangkan pengarmu," ujarnya.
Aku menatapnya. Pandangan mata itu lagi. Apakah aku tampak menyedihkan? Sudah lama rasanya aku tidak dilihat seperti itu. Lalu aku mengedarkan pandanganku. Tempat ini seperti familiar, namun, kenapa aku tak ingat ini di mana? Rumah ini tampak kecil, namun hangat. Perabotan kayu di mana-mana, bahkan lantai dan langit-langitnya terbuat dari kayu. Lampu-lampu yang remang di seantero rumah.
"Kita lagi di puncak, villa pribadimu," seperti menjawab penasaranku, Al menjelaskannya.
"Sejak kapan aku punya villa pribadi?" tanyaku bingung.
Al tersenyum lalu mengedarkan pandangannya di langit-langit. "Sejak dulu. Karena kau diasingkan selama 17 tahun, villa ini tidak pernah dikunjungi lagi. Aset villa ini atas namamu, Lin."
Aku mengerjap tidak percaya. Aku menatap sekeliling. Ini nggak mungkin kan? Villa ini meski kecil, terlihat sangat mewah. Harus berapa tahun bekerja agar aku bisa membeli tempat ini? Sedangkan sejak kecil, aset ini adalah milikku.
"Beneran?" tanyaku masih tidak percaya.
Al mengangguk. "Lagian ini masih sebagian kecil kok," ujarnya enteng. Ulinda, apakah kau akan kaya mendadak?
Aku menatap Al sekali lagi. Kini bajunya berganti, hanya memakai kaus dengan gambar mickey mouse di tengahnya, yang sebelumnya dia memakai setelan jas dan kemeja birunya.
"Kenapa kita di sini, Al?" tanyaku bingung.
"Kau tidak mau kemana-mana, lantas mau dibawa kemana lagi? Aku capek menyetir tanpa tujuan." Aku cemberut, dia kembali sinis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
Literatura FemininaUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...