Ingatan itu kembali menyeruak melalui rongga dalam otakku bersamaan dengan rasa takut yang tak ku pahami sebelumnya.
***
Ya ampun! Aku menghela napas dan mengambil handphoneku yang terjatuh ke lantai. Tadi 2 anak koas entah bagaimana tergopoh-gopoh berlari sampai menabrak sisi kanan tubuhku. Sekarang isi handphoneku berceceran, batreinya lepas dari dalam. Eh iya, tadi Al kenapa ya? Kenapa suaranya panik begitu? Aku kembali menghidupkan handphone dan berusaha menghubungi Al. Tapi, kenapa dia tak menjawab? Aku berdecak kesal.Sampai...
Aku baru sadar. Bagaimana dia bisa tahu nomor handphoneku?
Aku mematung berdiri di ruang operasi. Mengingat segala kejadian beberapa hari bersama Al. Suara Al, bukit bintang, entah bagaimana aku rasanya pernah mencicipi segala hal itu di masa lalu. Di mana? Apakah waktu aku masih kecil?
Masa kecil?
Bahkan aku hanya mengingat bagian saat aku di rumah panti. Ruang tamu rumah panti dan saat itu Abang mendekatiku. Hanya itu.
Aku lalu duduk lesu di ruang tunggu dekat ruang operasi. Pertanyaan bergelanyut di pikiranku. Seperti pertanyaan, apakah aku mengalami deja vu? Tapi, kenapa rangkaian kejadian itu seolah berulang kali terjadi?
"Lin?"
Aku terperanjat, napasku tertahan. Aku mendongak. Ah ternyata Abang. Aku tersenyum kaku dan Abang duduk di sampingku.
"Habis operasi?" Aku mengangguk.
Abang menyodorkan sebotol air mineral padaku dan aku menerimanya tanpa membukanya. Masih saja berpikir keras tentang rentetan kejadian itu.
"Bang..."
"Ya?"
"Dulu Abang kenapa bisa tinggal di Rumah Panti? Orang tua Abang dimana?" Tanyaku sambil memandang kosong.
Abang berdehem sebentar. Lalu meraih botol air mineralku. "Sebelum Abang cerita, kayaknya lebih baik kamu minum dulu deh," botol air mineral itu terbuka sempurna. Aku menatap botol itu. Ah rasanya, sebelumnya ada seseorang yang melakukan gestur tubuh itu. Napasku memburu, berusaha mengingatnya. Siapa itu?
Abang menyodorkan botol mineralku, namun, aku masih diam.
"Lin? Ulin nggak apa-apa?" Tanya Abang cemas sambil menyentuh bahuku. Lalu menggenggam tanganku. Dingin.
"Lin? Dengerin Abang..."
Telingaku berdenging namun sedetik kemudian aku mendapatkan kesadaranku.
"Lin, minum," kata pria itu sambil menyodorkan botol air mineral padaku.
Aku menatap pria itu sambil menimang-nimang obat itu.
Pria itu memakai topi fedora dan matanya yang tertutup dengan pinggiran topinya. Sehingga, tampak wajahnya yang tertutup. Ia mengalihkan pandangannya dan jongkok di depanku. Lalu ia mendongak. Semburat matanya yang tajam, dan begitu jelas wajah itu. Wajah yang tak asing. Albra.
"Kau berjanji bukan kepada ayahmu?"
Ingatan macam apa itu? Albra. Dia Albra. Napasku tercekat. Tanganku yang dingin masih digenggam oleh Abang.
"Ulinda! Kamu kenapa?!" Abang berteriak gemas. Aku menatapnya, lalu menangis di pelukannya. Obat apa itu? Kenapa Albra ada di sana? Siapa dia, seolah dia sudah berada di hidupku sejak lama?
"Aku takut," kataku sambil terus terisak. Abang mengelus rambutku lembut.
"Kamu takut apa? Cerita sama Abang," ucap Abang lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...