Rumah Panti dan Kenangannya

1.2K 57 0
                                    

Kenyataan bahwa kita meninggalkan sesuatu terlalu lama adalah ketika kita tidak siap dengan waktu yang mengubahnya dan kenyataan bahwa kita terlalu lama hidup di dalam kenangan.

***

Aku tidak punya banyak teman, bahkan saat masih di rumah panti lusuh itu dan sampai sekarang. Hidupku terlalu sunyi, seperti di dalam gua dan di luar sedang badai salju yang tak akan berhenti. Badai salju itu adalah ketakutanku. Aku takut orang-orang di sekitarku tidak mempercayaiku dan berekspetasi lebih terhadap sikapku. Aku takut dengan pemikiran manusia manapun. Untuk itulah aku selalu menunggu. Menunggu seseorang yang akan mendatangiku untuk menjadi temannya, mengajakku bermain lompat tali atau sekedar bertukar biodata. Kadang kemewahan dalam hidup adalah ketika kau mengharapkan sesuatu yang sederhana yang mungkin mustahil terwujud. Bertahun-tahun aku hidup menunggu ada orang yang memergokiku sedang sekarat karena ketakutan. Aku terus berpikir, hidup macam apa yang aku jalani, tapi, itu lebih baik karena aku menemukan teman yang benar-benar mendekatiku bukan karena mereka penasaran.

Abang dan Al adalah temanku. Benar-benar temanku.

Salah satu pria temanku itu akan menjadi suamiku karena melamarku di senja yang tak akan habis kenangannya di saat aku terus mengingatnya dan salah satu pria lagi telah meninggalkan kenangan yang pahit yang terus aku telan kepahitannya. Lucu sekali ketika aku kehilangan temanku di waktu yang beruntung dan di waktu yang malang. Kalau boleh serakah aku tak ingin kehilangan mereka sebagai teman yang baik. Tapi, justru aku tak punya pilihan.

Seharusnya aku senang ketika Abang tersenyum di sore itu dan mengatakan hal yang ingin aku dengar. Seharusnya aku menjadi wanita beruntung sore itu. Dan seharusnya aku mengangguk mengiyakan lamarannya sambil menangis terharu. Seharusnya. Tapi, yang ku pikirkan saat aku mendengar Abang melamar adalah seorang pria lain. Albra.

"Kau belum memutuskan, Lin."

Aku menoleh ketika ku lihat teman pria yang ku cintai itu menatapku di kursi kemudinya. Aku tak menjawab. Aku tahu lamaran itu sungguh romantis meski tanpa cincin, tapi, aku benar-benar sedang ragu. Ragu dengan perasaanku.

"Apa ini tentang diriku?" tanya Abang cemas.

"Maksud Abang?"

"Apa ini tentang aku yang mencintai wanita lain saat kamu tak ada, Lin?" tanya Abang lagi.

Aku cepat-cepat menggeleng. "Ah bukan itu..."

Abang tersenyum. "Kalau itu yang kau takutkan, aku butuh waktu. Tapi, aku janji itu tak akan lama."

Ya anggap ini tentang Abang. Anggap saja aku menaguhkan lamaran ini karena masalahnya ada di dirinya. Saat masalahku dengan Albra selesai, aku akan menjawab apakah aku menerimanya atau tidak. Aku tak ingin terus kehilangan. Aku tak ingin kehilangan teman yang berharga karena alasan bahwa aku tidak mampu mencari temanku sendiri. Begitu sulit dan lama bahwa kenyataannya aku harus menunggu seorang teman yang baru dan aku tak butuh teman baru.

Aku hanya mengangguk. "Tak usah terburu-buru. Ambil saja waktumu sebanyak mungkin. Aku akan menunggu."

"Tapi, kamu sudah menunggu terlalu lama, Lin."

"Benarkah?" aku hanya mencibir. "Pikirkan diri Abang sendiri. Aku masih cukup muda dan kau bertambah tua," kataku dengan nada canda.

Abang tergelak. "Astaga itu benar-benar menyinggungku," katanya sambil memegang dadanya dramatis.

"Mulai deh, hiperbola," kataku sok cemberut. Aku membuka seat belt dan membuka pintu mobil. Tidak terbuka. Aku menariknya sekali lagi. Gagal.

"Apa-apaan sih, Bang. Buka nggak?" kataku merajuk.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang