Ciuman Kening Itu

2.4K 110 1
                                    

Apa bedanya dia datang dengan kepastian atau tidak, jika memang aku tidak diijinkan masuk ke kehidupannya?

***
Dulu saat aku masih berada di rumah panti, aku nyaris tak punya teman. Abang? Itu persoalan yang berbeda. Dia seperti Kakak yang ku cintai dalam konteks yang berbeda. Dia tidak cocok untuk ku jadikan teman meski dia tahu seluk beluk tentangku. Aku lebih bisa menghormatinya sebagai kakak dan sebagai pria.

Sampai aku kuliah, aku tidak terlalu bisa melakukan hubungan bersahabat. Itu dikarenakan sikapku yang jauh dari kata baik. Justru itu yang bisa membuatku survive, karena kehidupan tanpa teman di pekerjaanku, jauh lebih sulit.

Tapi, orang itu datang. Orang yang membuatku tahu bagaimana rasanya menjalin pertemanan.

"Mobil Ulin ganti?" tanya Abang ketika kami makan siang bersama.

Heran? Yah sebetulnya aku terpaksa mengiyakan ajakan Abang. Jarang-jarang sekali aku bisa bertemu dengannya. Walaupun mengingat peristiwa yang membingungkan pikiranku, aku tahu ciuman kening itu tak lebih. Jadi, aku menganggap segalanya biasa.

Aku menggeleng. "Bukan. Punya teman."

"Teman?" kening Bang Ari mengerut. Itu jelas bukan pertanda baik.

"Eh iya bisa dibilang begitu," kataku kagok.

"Teman kuliah? Atau teman apa..." tanya Bang Ari menggantung.

Aku berusaha mengarang agar dia tidak tahu tentang Al. Untuk selamanya dia tetap menjadi teman rahasiaku.

"Sebetulnya itu temanku saat mengambil PPDS. Terus akhirnya bisa akrab sampai sekarang," kataku lancar. Untuk urusan bohong, aku memang jago. Aku tersenyum dalam hati.

Matanya menyipit, lalu Abang melanjutkan makannya.

"Siapa? Siapa tahu Abang kenal."

Eh?

"Ng... Abang nggak bakal kenal. Soalnya dia kerja di luar pulau."

"Lha terus kok mobilnya bisa ada di kamu?" tanya Abang menyelidik.

Eh? Benar juga. Alasan apa lagi yang ku karang, agar setidaknya Abang nggak tanya-tanya lagi dan percaya begitu saja?

Abang tersenyum kecil dan seperti... mengejek? "Lakukan yang Ulin suka. Anggap Abang percaya sama kamu."

Mukaku memerah. Kalimat itu lagi. Apa berarti Abang mulai putus asa dengan sikapku akhir-akhir ini? Waktu aku sakit, dia juga bilang seperti itu. Dia tidak terlalu banyak bertanya saat aku memutuskan meminum yoghurt itu. Ya memang dia tak pernah melarangku melakukan hal-hal yang ku inginkan. Tapi, kali ini?

"Kenapa sih Abang bisa percaya sama Ulin?"

Abang menghentikan pergerakan sendok garpunya dan menatapku lama.

"Kan sudah Abang bilang..."

"Karena itu aku? Kalau ternyata aku bukan Ulin, apakah sikap Abang bakal sebaik ini?"

Mulutku memang tidak terkontrol akhir-akhir ini. Tapi, aku juga tak akan membiarkan alasan itu bertahan lama. Karena itu aku? Konyol sekali. Aku tahu Abang nggak bisa mengarang alasan lain.

Abang menatapku bijak. "Lin kamu ngerti nggak alasan kenapa kamu pengen jadi dokter?"

"Itu alasan yang berbeda, antara sikap Abang dan passion," jawabku cepat.

Karena... Abang? Mungkin karena itu. Aku memang merasa terpanggil, tapi, satu-satunya alasan kenapa aku bisa bertahan, itu karena Abang.

"Oke begini," Abang tampak menatap menu makan siangku. "Ulin kenapa pengen makan menu ini?"

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang