Aku enggan menatap tubuhnya yang mulai menjauh. Layaknya bagian hatiku yang sedang pergi begitu saja dariku. Ya seperti itulah bunyinya.
***
"Jadi, sudah berapa lama?"
Aku melirik ke atas. "Beberapa bulan belakangan ini."
"Itu mulai kedengaran tidak baik, Ri."
Aku mengangguk lalu meneguk segelas air di depanku. Orang-orang di kafe berlalu lalang, padahal hari masih pagi.
Aku mulai memikirkan mimpi-mimpi buruk ini ketika ini mulai menghantuiku. Aku mulai bermimpi seorang gadis kecil. Gadis kecil yang ketakutan. Siapa dia? Aku mulai tidak bermimpi Ulin lagi, tangisnya yang berderai-derai di bangsal anak-anak. Jadi, aku memutuskan untuk menemui teman sejawatku yang sekarang menjadi dokter jiwa, namanya Rania. Dia menjadi temanku sejak kami bersekolah di sekolah kedokteran yang sama. Dia sama halnya dengan Riyan adalah teman-temanku saat masih bersekolah, dan menjalani koas.
Rania temanku yang populer karena dia cantik untuk ukuran seorang dokter. Dengan wajahnya dan tubuhnya dia bisa menjadi model atau artis. Tapi, tentu saja dia lebih memilih otak cerdasnya untuk bersekolah menjadi dokter. Dengan perpaduan yang pas seperti itu, dia bisa memilih banyak lelaki di luar sana, tapi, entahlah kenapa dia bersikap seperti itu. Mungkin karena dia memang sejak dulu pernah menyukaiku. Itu bagian cerita lama yang membuatku renggang dengan Rania. Tapi, itu dulu. Saat kami bocah dan masih menganggap jatuh cinta merupakan hal lumrah bagi kami yang masih berumur 20 tahunan. Entahlah kenapa dia masih bersikap seperti itu. Seolah dia masih menjaga perasaannya.
Dia menghabiskan waktu lajangnya untuk bersekolah. Bahkan aku tahu bahwa dia baru saja menyelesaikan penelitiannya di bidang penyakit jiwa, tentamina suicidum. Penyakit pada pasien yang membuat penderitanya memikirkan keinginan untuk bunuh diri. Dengar-dengar dia melakukan penelitian ini di beberapa rumah sakit jiwa di beberapa daerah.
"Lalu, kau tidur berapa jam sehari?"
Aku diam sebentar. "Yah, 5 jam sehari. Aku berpikir ini mulai tidak baik. Iya kan?"
Rania mengangguk. "Temui aku sesering mungkin jika mulai memburuk. Kau harus tidur dengan cukup, atau kepalamu akan kambuh lagi," omel Rania seperti biasa. Aku seperti biasa hanya nyengir dan dia membalasnya dengan senyuman. "Apa itu tentang gadis panti asuhan itu lagi, sehingga membuatmu kembali bermimpi buruk?" Tanya Rania dengan curiga.
"Yah... mungkin," kataku tak yakin. Gadis panti asuhan itu tentu saja Ulin. Rania memang mengetahui itu sejak dulu.
"Hei, Ri."
"Apa?"
"Aku menyukaimu."
Aku meledak tertawa begitu saja. Dia tersenyum menatapku yang tertawa terbahak-bahak.
"Astaga, Raniaku, kau mulai lagi," aku menatapnya.
"Aku serius. Kenapa kau selalu begitu tiap kali aku mengatakannya?"
"Lupakan. Kau selalu membuatku berada di situasi yang sulit," kataku menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Siapa suruh punya wajah yang tampan, karir yang cemerlang, seorang dokter, dan menyukai anak-anak? Kau terlalu sempurna, Ri. Bahkan jika kau temanku. Seberapa sering lagi, aku harus mengatakan hal itu?" katanya dengan senyum yang bahkan masih cantik seperti dulu. Tapi, aku selalu melihatnnya sebagai teman. Teman yang pandai mendengarkanku atau Riyan. Dia memang ahli di bidang itu. Dia satu-satunya teman gadis yang ku tahu, tak pernah canggung atau tidak tahu malu jika di dekatku. Aku tak melihatnya menjadi orang yang akan menyukaiku.
"Rania."
"Iya, Ri?"
"Kau tak ingat hujan-hujan itu? Kau tak kapok ku tolak waktu itu? Astaga. Bahkan aku harus merawatmu, karena kau ternyata punya tifus. Aku benar-benar menjadi pria yang buruk waktu itu."
Rania berhenti tersenyum. "Iya deh. Aku tak akan mengatakan itu lagi. Aku hanya bercanda, Ri. Jangan ngambek. Oke?" katanya menawarkan jari kelingkingnya dan aku menerimanya.
"Kau cantik. Kau pasti bahagia dengan pria lain. Aku akan jamin."
"Jika tidak?"
"Kau hanya tinggal telepon aku dan aku akan menghajarnya," kataku sambil berlagak meninju. Dia tertawa.
"Bagaimana kabar Tristan?" Tanya Rania.
Aku mengangguk. "Ya, dia baik. Dia akan pulang dari rumah sakit besok. Kau mau melihatnya?"
"Bagaimana dengan gadis itu? Apakah dia tahu tentang Tristan? Aku tahu kau menyukai gadis panti asuhan itu sejak dulu, tapi, kau tahu kan Tristan juga harus menerimanya?"
Aku termenung. Ya mau tak mau pasti Tristan juga harus mengetahui hal itu. Tapi, akan sulit jika aku langsung mengenalkan Ulin pada Tristan.
"Kau akan kembali ke rumah sakit?" Tanya Rania dan aku mengangguk. Aku menatap arloji di pergelangan tangan.
"Aku akan mengantarkanmu ke rumah sakit, sekalian mau nyapa Riyan."
Aku mengangguk setuju. Aku bangkit ketika ku lihat di jendela kafe, ada Ulin di sana berdiri begitu saja
"Hai, Lin," sapaku sambil tersenyum dan dia membalas sekenanya.
"Hai, Dok."
Aku mengernyit dengan nada bicaranya dan caranya memanggilku.
"Apakah dia..." bisik Rania tepat di telingaku, aku mengangguk begitu saja.
"Oh iya, hampir lupa. Kenalin ini Rania, temanku sejak sekolah. Dia dokter spesialis jiwa," kataku sambil mengenalkan Rania dan Ulin.
Rania menyapa dengan hangat dan Ulin juga. Mereka berjabat tangan.
"Senang sekali bisa ketemu dengan dokter seperti kamu. Ari selalu cerita tentang kamu sama aku."
"Ah benarkah?" Tanya Ulin dengan nada suara yang enggan. Aku menatapnya dengan seksama. Ada apa dengannya?
Rania mengangguk. "Tentu. Kami berteman dengan baik. Ari teman dekatku sejak kami sekolah," kata Rania antusias sambil mengaitkan lengannya di tanganku. Dia memang biasa bersikap seperti itu, entah dengan Riyan maupun aku.
Ulin hanya mengangguk, sambil terus menatap tangan itu. Aku tahu, karena matanya terus terpaku pada itu. Lalu dia menyerahkan kantong yang berisi kue. Seketika saja, aku melepas kaitan tangan Rania dan menerima kantong itu.
"Ini... buat dokter. Aku minta maaf dengan sikapku kemarin," kata Ulin sambil menunduk sedikit. Aku tahu wajahnya sangat pucat seolah dia menahan sesuatu.
"Lin? Kamu nggak apa-apa?"
"Aku harus pergi. Aku ada visite. Jadi, aku harus pergi," kata Ulin hampir berbalik, ketika Rania menarik tangannya.
"Kau bisa pergi bersama kami. Kebetulan kami mau ke rumah sakit. Iya kan, Ri?" Tanya Rania kepadaku dan aku menjawabnya enggan. Berusaha memberi kode kepada Rania agar tidak mengusiknya.
Ulin perlahan melepas tangan Rania yang menariknya dan menggeleng begitu tanpa menoleh. Dia pergi begitu saja. Dan aku mulai berpikir akan ada sesuatu yang terjadi. Sesuatu yang tak enak nantinya.
"Ada apa dengannya? Sepertinya dia cemburu. Aku jadi nggak enak," kata Rania membuatku jadi berpikir begitu.
"Entahlah."
"Apa dia sudah berdiri lama di kafe tadi? Sepertinya dia melihat kita."
Dan ketika Rania berbicara seperti itu, aku ingin mengejar jejak Ulin dan menjelaskan semuanya. Sungguh. Aku takut Ulin kembali bersikap seperti dulu. Sikap yang membuatku tak bisa menyentuhnya. Bagiku dia masih seorang gadis kecil, dan aku harus menuntunnya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...