Aku suka ketika kau masih menoleh ke belakang. Itu tandanya kau masih membutuhkanku. Membutuhkanku untuk mengenang masa lalu, dan menatap optimis ke depan. Berharap melakukannya dengan baik lagi.
***
Aku menatap poster di gedung bioskop itu lama sekali. Film yang membuatku ingin menontonnya. Sederhana saja memang, hanya film mancanegara, tapi, ketika melihat posternya aku tahu ceritanya bagus. Aku tak terlalu memandang aktor siapa yang akan bermain dan bagaimanakah tampannya. Tidak. Yang ku tahu pasti ceritanya bagus. Teman-teman di sekolah bahkan menggosipkannya tadi waktu jam istirahat.
"Ya ampun, di panggil nggak jawab dari tadi," kata Bang Ari mengomel.
"Eh iya ya?"
"Lihatin apaan sih?" tanya Bang Ari seketika menatap poster itu.
"Yuk, Bang!" seruku mengajaknya pulang.
Bang Ari menunjuk poster itu. "Ulin mau nonton ini?"
Aku hanya tersenyum. "Yuk, Bang," kataku waktu itu tidak menghiraukan pertanyaannya. Kalau aku menjawab ya, pasti Abang akan bekerja keras untuk itu. Tapi, aku tidak ingin melihatnya kesusahan meladeni keinginanku. Tiket nonton bioskop saat itu bisa membuatku makan 2 minggu lebih.
Sehingga aku memutuskan mengumpulkan pundi-pundi rupiahku sendiri, demi menonton film itu. Aku juga berencana mengajak Abang. Sampai hari itu Abang sakit. Aku terus menatap celengan ayamku, tapi, aku tak bisa menonton tanpa Abang. Sehingga sampai waktu pemutarannya habis, aku tak bisa melihatnya. Celengan ayam berisi uang itu, akhirnya ku buat untuk membeli tas yang sudah ku incar sejak lama. Meski sedikit menyesal, aku berjanji akan menonton film bersama dengan Abang. Entah kapan tapi aku sudah memantapkan janji.
Hingga hari itu tiba, dengan tak sengaja aku bertemu dengannya di lift. Timing yang tidak pas untuk nonton bersama, mengingat masalahku dengannya dan bagaimana aku menghindarinya. Tapi, aku tak boleh begini. Membiarkan masalah ini tidak selesai dan melihatnya ingin menjelaskannya padaku. Bukankah 3 hari sudah cukup, untuk menyiapkan hati mendengar penjelasannya? Jika dia ingin begitu, aku akan mendengarkannya.
Entah rombongan orang-orang itu dari mana, dengan kejam dan beruntungnya mendorongku hingga pojokan lift. Dengan sigap abang melindungiku dengan tubuhnya. Mata kami bertemu. Dia tersenyum dan menyapaku. Oh aku malu sekali. Senyum itu tampak jelas dan lagi-lagi membuat tanganku bergetar saking ingin membawanya pulang. Sayangnya aku tak punya saku di bajuku dan celanaku. Sehingga yang ku lakukan menunduk dan berdoa agar dia tak mendengarkan detak jantungku yang saking kerasnya mengalahkan suara bising di lift ini.
Aku hampir pergi, ketika dia tak menjawab. Tapi, suara hatiku berkata lain. Janji itu terus menagihku tanpa mengijinkan egoku yang keras untuk membela. Sehingga malam itu di depan lift dan tangannya yang menahan pintu lift...
"Mau temani aku nonton film?"
Aku memberinya kesempatan kedua. Mencoba menerima masa lalunya. Lalu menerima penjelasannya. Aku tak banyak berkata-kata dan bertanya tentang anak itu. Di mana istrinya dan sebagainya. Ternyata hal yang ku lalui cukup mudah. Aku menerimanya dengan lapang dada. Dan aku sedikit senang dan sedih mendengar istrinya meninggal (aku benar-benar berusaha menyembunyikan senyum bahagiaku mendengarnya). Tapi, aku juga penasaran, apa yang membuatku dan istrinya berbeda? Karena hal itu, aku memikirkannya, dan menatapnya lama sekali. Mencari jawaban di setiap kerlingan matanya.
"Maafkan aku, Lin," katamu pelan.
"Buat?"
"Yuk," katamu sambil menggandeng tanganku.
Aku sungguh tak mengerti dengan permintaan maaf itu. Maaf karena meragukanku? Maaf karena secara tidak langsung 'menduakanku'? Aku tak mengerti.
Maka ku biarkan diriku menonton film juga menatapnya. Dengan suasana segelap ini, aku bisa menatapnya lama sekali tanpa ketahuan. Apa yang membuatmu memilih perempuan itu? Ah aku tak tahu. Tapi, yang jelas kau tak menonton film ini dan merenung. Aku menonton film itu tanpa fokus 100%, karena aku menatapnya lagi, menonton filmnya lagi, siklus itu terus terulang sampai filmya selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...