Berdamai

987 45 1
                                    

Aku tersimpan rapi dalam lembar-lembar buku puisimu yang kau jelmakan sebagai aku. Menanti dibaca. Menanti untuk didengarkan.

***

Siapa yang akan menyangka, aku bertemu lagi dengan orang yang membuangku? Kenapa kamu muncul lagi, Al? Aku menghela napas sambil menatapnya berbaring di bed klinik markas—begitu dia menyebutnya. Lengan kirinya telah ku obati, namun, Al masih belum sadar. Dia kehabisan banyak darah. Seketika aku mengingat pertemuan pertama kita saat dia menyelamatkanku dari mobil yang melintas. Entah itu unsur kesengajaan atau bukan, tapi, aku selalu nyaris bertemu dengannya saat aku dalam keadaan berbahaya. Dan lagi-lagi, Al hampir celaka gara-gara menyelamatkanku. Kejadian ini berulang kembali, tapi, ini bahkan lebih parah daripada sekadar ditabrak mobil.

Aku tak tahu mereka siapa. Kalau memang mereka ingin membunuhku, tentu itu jahat sekali. Aku bahkan tak melakukan apapun kepada mereka, kenapa aku harus berakhir hanya gara-gara aku anak dari pengusaha tambang batu bara?

Aku menatap sekeliling ruangan klinik. Aku tak mengingat banyak hal dari tempat ini. Dan ya, sebetulnya ingatanku belum pulih betul. Ingatanku hanyalah ketika aku melihat bayangan Al dengan obat itu dan topinya. Selain itu, tak ada lagi yang tersisa. Bagaimana aku bertemu dengannya? Bagaimana aku saat itu? Apakah aku menyukainya? Apakah aku benar-benar menganggapnya seorang teman? Apakah aku dulu adalah anak yang lemah, sehingga aku perlu bodyguard saat itu? Entahlah.

Saat aku di rumah panti, aku membayangkan menjadi putri dari orang tua yang kaya. Bebas membeli apa saja yang aku mau, tanpa harus berpuasa dulu sebelum membeli sesuatu. Doa itu terkabul. Ya, aku memang putri dari orang tua yang kaya. Mungkin aku dulu sering berkecukupan, berangkat sekolah diantar naik mobil—bukan dengan bus kota—sarapan dengan susu dan roti, memiliki mainan yang banyak, teman yang baik, dan sekolah yang elit. Tapi, tidak dengan ayah yang baik, tentu saja.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar, aku hanya menjawab dengan gumaman. Lelaki yang ku kenal bernama Brian itu masuk. Dia lah yang memeberkan rahasia bahwa aku adalah anak dari ayahku dan kenyataan bahwa aku adalah anak yang terbuang.

"Anda baik-baik saja?" tanyanya formal, membuatku tak nyaman. Aku hanya mengangguk.

"Kalau Nona Muda butuh apa-apa, bisa panggil saya saja," katanya membuatku terheran.

"Kau panggil aku siapa tadi?"

"Nona Muda," jawabnya ragu.

Nona muda? Apakah aku memang dipanggil seperti itu dulu?

"Ng... apakah aku semuda itu?" tanyaku ingin tahu.

Brian menggeleng bingung. "Nggak sih."

Tawaku pecah. Brian tampak kebingungan. "Dulu aku dipanggil begitu ya?" Brian mengangguk.

Rasanya aneh saja. Aku seperti di negeri dongeng yang punya dayang-dayang dan pesuruh, lalu mereka memanggilku begitu.

"Sebetulnya aku kurang nyaman dipanggil begitu, apalagi aku sudah lama tidak pulang. Aku bahkan bukan lagi anak ayahku," kataku muram lalu berusaha tersenyum.

Brian tidak merespon apa-apa. Sepertinya dia tidak nyaman.

"Tapi, Nona Muda dijemput Albra bukan tanpa alasan," celetuk Brian.

Dahiku mengernyit. "Maksud kamu?"

Brian hanya menggeleng. "Nanti Nona Muda akan tahu. Albra yang akan menjelaskan semuanya."

Brian hampir saja pergi dan dia berbalik. "Nona Muda tidak butuh apa-apa kan?"

Aku tersadar dari lamunanku. "Bisa ambilkan handuk kecil dan air hangat? Tadi aku periksa sepertinya Al sedikit demam." Brian mengangguk dan aku mengucapkan terima kasih.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang