Rasanya hukuman dengan hatimu yang mendingin itu tidak cukup meghukumku kecuali jika kau pergi
***
Karangan bunga di halaman rumah itu ramai sekali. Orang-orang dengan pakaian hitam mereka, sambil mengucap bela sungkawa. Pria berjas hitam itu hanya mengucapkan terima kasih dan menunda air mata itu jatuh sejak tadi pagi. Dia ingin pergi dari sana, hanya itu pikirannya ketika orang-orang datang melayat. Kenapa harus bersedih ketika orang yang kau cintai harus pergi? Bukankah manusiawi jika seorang manusia harus meninggal? Dia benci dengan kematian dan mengutuknya sejak hari itu datang.
Dia menatap lagi wajah bersinar bak bulan purnama di peti mati itu. Terlihat cantik bukan? Kau selalu ingin dipuji cantik olehku, kata pria itu dalam hati. Mata pria itu turun ke arah bunga yang di genggaman tangan wanita itu. Anyelir kesukaannya. Anyelir yang pernah diberikan pria itu saat melamar gadis itu. Anyelir yang tiap tahun ia berikan ketika gadis itu berulang tahun, sampai pernikahan mereka di gereja saat itu. Ah kenapa waktu benar-benar kejam? Menghitung mundur momen-momen yang menyenangkan saat orang itu pergi? Itu sama sekali tidak menyenangkan. Itu hanya membuat orang berpikir membenci dan membuang jauh-jauh momen itu, karena sedih mengingat bahwa kau takkan melakukannya lagi sebagai rutinitas harian. Semua terasa berubah.
"Yah, kenapa Ibu dikurung di situ?"
"Yah, kenapa Ibu tidur lama sekali?"
Anak kecil itu merajuk meminta jawaban dari Ayahnya. Oh Tuhan aku tidak kuat lagi. Aku ingin menangis. Membuang perasaan sedih ini jauh-jauh, pikir pria itu ketika anaknya terus merajuk. Dia baru 6 tahun ketika kehilangan Ibunya. Dan sekarang ia menderita gangguan pada otaknya, karena faktor genetik dari Ibunya.
"Yah, jangan bawa Ibu pergi!" anak itu berteriak histeris.
Pria itu hanya berjalan, membawa bingkai foto istrinya, yang wajahnya cantik bersinar bak bulan purnama. Pria itu tidak menghiraukan putranya yang mulai menangis. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana dia tidak menangis di depan putranya. Itu saja.
***
Ulin ada di sana saat putraku, Tristan, untuk pertama kalinya sejak istriku meninggal menyebutku 'ayah'. Mengharukan sekali, sekaligus sesak saat dia ada di sana. Kenapa dia ada di sana saat waktu benar-benar tidak tepat?
Aku mengejarnya dan aku melihat satu persatu air mata itu jatuh di lantai. Mungkin percuma aku menjelaskan ini semua kepadanya. Bagaimana dia menerima penjelasan, kalau ternyata penjelasan itu lebih menyakitkan dari kenyataanya? Aku berhenti ketika dia menghilangkan jejak. Aku menyesal pernah menciumnya kemarin. Waktu itu aku putus asa, ketika Tristan harus menginap di rumah sakit. Tidak bisa sekolah lagi. Dia mengalami sakit kepala hebat saat pulang sekolah. Dan aku menyesal tidak bisa menjemputnya hari itu. Aku butuh penyemangat dan Ulin ada di sana. Aku bisa hidup kuat sekarang, tapi, melihatnya terus bertanya 'ada apa' membuatku takut ia pergi. Dan sekarang ia pergi.
Aku menunggunya di depan pintu kamar mandi, kata perawat ia melihat Ulin melintas sambil menangis hebat. Terasa jelas, suara tangisnya merobek hatiku. Dia tak pernah menangis sehebat itu, bahkan ketika aku pergi, aku tahu dia selalu bisa menata hati. Tak pernah menangis dan terus menungguku. Aku bersandar di depan pintu, merutuki hatiku sendiri. Kenapa aku mecintainya? Kenapa aku harus mencintai wanita lain selain dirinya? Dan kenapa aku mencintai Vina, wajahnya yang bersinar bak bulan purnama?
***
"Kau melakukan dengan baik, Dok!" kata Vina sambil tersenyum.
"Terima kasih," bisikku tepat di telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...