Tugas Bos Besar

1.9K 88 0
                                    

Jadi, apakah aku takut dengan bayang-bayangmu yang pergi atau takut dengan bahagiaku yang meluruh diganti kesedihan?

***

Pria itu sudah mencium keningnya? Terus apa lagi? Cium pipi? Cium... aku menggeleng, mencoba mengusir prasangka yang akan membuatku semakin frustasi. Ulin sudah pulang, bahkan tanpa mengucapkan apa-apa. Apa dia marah? Bukankah aku mengatakan yang benar? Ya, kau mengatakan sesuatu dari sisi cemburumu, Al. Hanya itu. Aku sudah menghabiskan 3 botol yoghurt, dan tetap saja asupan itu tak cukup lagi membuat suasana hatiku jadi baik. Aku meraih ponselku dan membuka aplikasi pelacakku. Titik itu masih di sana, di penyeberangan jalan di tempat yang akhirnya pertama kali kita bertemu. Aku menghela napas, kecemburuanku ternyata membunuh hubungan kita yang berangsur membaik. Siapa suruh dia mulai dengan urusan pacar-pacar itu?

Tiba-tiba ponselku berdering. Brian. Aku benar-benar malas berbicara dengannya. Aku menekan tombol hijau di layar handphone dan menempelkannya di telinga.

"Kenapa?"

"Bos besar, Al,"

Aku beringsut berdiri dan menutup sambungan telepon.

***

"Ada tugas baru buatmu, Al," kata pria berjas biru bludru itu sambil menyerahkan map biru padaku.

Aku melirik sebentar pada pria di depanku. Ayah Ulin. Aku menerima map itu dan memeriksa isinya. Sepertinya perjanjian terselubung dengan perusahaan tambang yang ada di Sumatera. Ini adalah tugas pertamaku, setelah Bos Besar akhirnya bebas dari kurungan jeruji besi. Yang ku herankan, kenapa dia masih bisa melakukan perjanjian gelap itu setelah dia membuang anak gadisnya dan keluar dari penjara?

"Oh ya, Al ku dengar kau tahu kabar Ulin-ku? Benarkah?" Tanya Bos besar sambil mencodongkan tubuhnya.

Aku mendengus. Baru saja aku berspekulasi yang tidak jelas, sekarang dia bertanya. Aku pikir dia memang tidak ingat dengan anak gadisnya itu.

"Itu bukan urusan Anda. Ulin sepenuhnya berada di pengawasan saya," kataku acuh sambil terus meneliti map itu. Pria itu hanya tertawa.

"Yah, aku ayah yang jahat bukan?"

Kau bukan hanya jahat tapi juga iblis, desisku dalam hati sambil sudut bibirku menyunggingkan senyum sinis. Ayah mana yang membuang anak gadisnya di panti asuhan? Dan ayah mana yang membuat anak gadisnya lupa dengan masa kecilnya? Jahat? Mungkin sekilas licik, tapi, kehidupan Ulin memang sangat sulit sejak Bos Besar mulai menguasai banyak sektor pertambangan, salah satunya batu bara. Tak jarang, perjanjian gelap begitu akrab dengan Ayah Ulin.

"Al, kalau suatu saat dia mengingat segalanya, berjanjilah untuk terus melindunginya. Kau tahu aku melakukan semua hanya untuk Ulin kan? Aku harap kau mengerti itu," kata Bos Besar sambil senyumnya yang muram muncul di mulutnya.

Aku menatapnya. Ya memang sulit posisi Ulin saat ini. Banyak musuh Bos Besar yang mengetahui fakta Bos Besar memiliki anak gadis, yang mungkin bisa menjadi kelemahannya.  Meski sekarang bagi Ulin aman, riskan sekali jika musuh Bos Besar mengetahui keberadaannya. Ditambah Bos Besar sudah keluar dari penjara. Bisa jadi keberadaan Ulin akan terekspos.

"Pastikan kau mengurus hal ini dengan baik dan persiapkan penembak jitu di tempat pertemuan," kata Bos Besar lalu dibarengi aku yang selesai membaca sebagian besar isi map itu.

"Ulin..." kataku hampir berbalik dan Bos Besar mendongak ketika aku mengatakan nama itu. "Dia baik-baik saja dan menjadi seorang dokter yang hebat. Saya harap Anda tidak lagi mengusiknya," aku menundukkan kepala memberi hormat dan berbalik.

***
Aku menatap nanar langit-langit kamar diterangi lampu. Sejak 30 menit aku mencoba tidur tapi aku masih memikirkan Ulin, kecupan itu, dan juga pekerjaan pertamaku dengan Bos Besar. Memikirkan Ulin karena takut saja aku tak kan melihatnya lagi mengagetkanku di depan pagar rumahku, menceritakan lelaki lain, atau mungkin menatap bintang yang sama di bukit itu. Aku menghela napas panjang, takut juga dengan pekerjaan pertamaku, takut terjadi sesuatu karena aku mulai bekerja dan bisa dibilang aku terlalu menikmati cuti panjang. Dan kecupan itu... aku tidak bisa menahan diri, sehingga aku menganggap itu kesengajaan. Ya anggap saja begitu, aku mengangguk mengiyakan pemikiranku sendiri.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang