Takdir

3.6K 156 0
                                    

Aku ingin membawamu pulang ke masa laluku yang buruk. Bagaimana jadinya jika kau ada di sana? Apa masa laluku takkan seburuk itu?

***

Ada momen dimana ketika kamu merasa benci dengan orang itu, tapi, entah kenapa dipertemukan dengan kebetulan yang memuakkan. Bahkan kalau beruntung, timingnya bisa pas, punggungmu saat itu ingin dielus oleh tangannya, atau mungkin sedang ingin dipeluk. Aku menghindari sosoknya bahkan bayangannya yang berkeliling di koridor rumah sakit, kamar pasien, ruang prakteknya. Senyumnya ada di mana-mana.

Aku nyaris tidak pernah makan di kantin rumah sakit lagi, karena dia selalu makan di sana. Kopi, sup jagung, apel. Aku bahkan menghapal menu makan siangnya untuk ku hindari di menu makan siangku. Entahlah perasaan apa yang ku punya padanya, aku sedih, marah, kecewa, dan semuanya terasa sia-sia. Tapi, sedetik tak melihatnya membuatku hampir gila.

Malam ini aku libur jaga. Aku melewati lorong, lalu ruang prakteknya. Gelap. Aku tahu dia tak ada di sana. Aku menghela napas dan melangkahkan kakiku, ketika ku dengar suara pintu terbuka. Ia sedang mengangkat telponnya, Abang tak melihatku ada di sana. Raut wajahnya panik. Raut wajah yang tak pernah ada bagi dokter spesialis anak, bukan? Biasanya mereka akan panik menerima panggilan, jika ada operasi darurat.

Aku mengikuti langkahnya kemanapun ia pergi. Ia berbelok di pertigaan patung rumah sakit. Belok lagi dengan plang tulisan "bangsal anak-anak". Lalu belok lagi ke arah kamar beraksen warna-warni itu. Jejaknya hilang di kamar itu. Aku tak bisa melihatnya lagi dengan putranya itu. Mengingatkan bahwa dia pernah punya wanita lain. Kemana wanita itu? Tak pernah ku lihat dia bersama istrinya. Bercerai? Meninggal? Atau dicampakkan? Kemungkinan terburuk apakah salah satu dari mereka berselingkuh? Walau aku mengamini doa itu, tapi, aku tahu Abangku tak pernah seperti itu. Tak pernah? Hei, apa yang dia lakukan padaku, bukankah seperti pedang yang ditancap paksa di punggungku? Dia benar-benar berhasil menusukku dari belakang.

***

Aku benar-benar tak bisa tidur semalaman setelah peristiwa mengikutinya sampai bangsal anak-anak itu. Sehingga, aku meneguk beberapa pil tidur dan bangun ketika suster jaga menelponku bahwa salah satu pasienku sedang sekarat. Tidak seperti biasanya, aku naik bis kota, menghindari kecelakaan kalau saja aku memaksa untuk menyetir sendiri, lalu melanjutkan mimpi indahku di bis kota itu sambil mendengarkan musik.

Aku terbangun ketika aku merasakan sedang tertidur di bahu seseorang. Bahu yang kokoh. Bahu yang lembut untuk bersandar. Aku menoleh dan aku menemuinya sedang tersenyum.

"Lin..."

"Astagaa!!"

Aku terperanjat kaget sampai melompat di kursi bis. Ah astaga mimpi yang buruk. Aku memukul kepalaku sendiri dan menyadari bahwa rumah sakit yang ku tuju terlewat. Aku tergesa-gesa turun dan berjalan kaki sejauh 1 kilometer. Ah andai mimpi itu benar-benar nyata. Tapi, menyeramkan juga, Abang ada di sana saat aku kebetulan sekali naik bis siang itu.

"Tidurnya nyenyak banget, Dok. Sampai sini terlambat 1 jam," tegur Dokter Riyan dan aku hanya tersenyum malu. Image-ku sebagai dokter paling menyeramkan di sini tercemar karena dia.

"Kemarin malam aku ada operasi sampai 12 malam, jadi, aku tidur selama itu," kataku berasalan. Ya, dan setelah pulang, bahkan aku tak memejamkan mataku sedetik saja. Sesegera mungkin aku menyiapkan stetoskop dan beberapa peralatan lainnya dan memeriksa pasienku di kelas VIP.

"Tidur jam berapa kemarin?" tanya Riyan, membuatku terjaga lagi.

Aku menatap sekitar, dan ternyata aku masih di kantin rumah sakit. Aku mengucek mataku dan Riyan masih di sana, dengan pandangan menyelidik.

Aku menghela napas dan sibuk menyendokkan sup ke mulutku. "Yah... jam 3 pagi," jawabku singkat.

Riyan memandangku iba. "Pergilah tidur. Kau tidak seperti biasanya."

Aku tersedak mendengar kata-kata itu. Benar-benar tepat di dalam hatiku. Oh apakah aku terlihat seperti orang bodoh karena masalah ini? Apakah sikapku akhir-akhir ini kentara sekali? Padahal aku memaksakan untuk terlihat biasa saja.

Riyan menepuk punggungku dan aku meneguk air putih banyak-banyak.

"Ada masalah?" tanya Riyan dan aku hanya menggeleng.

"Kau mengagetkanku."

"Mana ada Dokter Ulin yang kelihatan mengantuk sekali seperti ini? Kau kan memang biasa tidur 4 jam sehari. Kau meneguk sesuatu sebelum tidur?"

Aku menggeleng lagi. Bohong memang. Aku meneguk pil tidur itu untuk pertama kalinya dalam hidupku. Aku sendiri tak pernah meminumnya, karena mensyukuri diriku yang terus terjaga. Tapi, pada malam itu, karena terjaga itulah, terus terbayang sosoknya yang melangkah panik ke arah bangsal anak-anak. Seketika aku takut lalu ingin melupakannya jauh-jauh.

"Kau tahu sebetulnya aku..."

Kataku terpotong ketika Riyan mengangkat tangannya seperti mengajak seseorang bersama kami. Aku menoleh ke belakang dan ku lihat Riyan mengajak seseorang untuk gabung bersama kami. Dia. Riyan mengajak dia. Nafsu makanku seketika menghilang. Aku mengangkat nampan makan siangku dan tak menghiraukan tatapan heran Riyan.

***

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang