Tugas Dari Teman Lama

1.3K 61 4
                                    

Menyenangkan memiliki seseorang yang kau pikirkan di setiap malam dan menyedihkan ketika kau hanya memikirkan tanpa tahu ekspektasi sedang sibuk menjahit harapanmu

***

"Al, kalau kau tidak jadi manusia, kau ingin menjadi apa?"

Aku ingin menjadi seekor kucing. Dia tidak pernah bosan dengan hidup yang terus berjalan. Dia tidak merasakan perubahan dan baginya segalanya terasa sama saja, sampai dia mati. Dan gagasan bahwa kucing memiliki sembilan nyawa dengan hidup yang baginya sama saja itu, ternyata cukup sepadan. Kucing bisa beruntung menjalani hidup seperti itu, ya kau tahu, makan di pagi, siang dan sore hari, berjalan, bermain benang yang rumit tiap hari dan menggigitnya, menanti majikannya pulang kerja dan menyapanya. Waktu terasa cepat dan dia tidak perlu menyadarinya. Yang dilakukan hanyalah hidup dan hidup.

Aku teringat pertanyaanmu itu, Lin. Cukup aneh, untuk itulah aku tidak menjawabnya karena aku memang tak pernah ingin menjadi manusia atau makhluk apapun. Aku terpaksa menjadi manusia tepatnya. Karena menjadi manusia itu rumit, kau jatuh cinta, lalu hidup, kau butuh banyak hal hanya karena kau hidup. Tapi, ketika aku mengingat pertanyaan itu aku ingin menjadi kucing. Aku tak perlu meresahi waktu yang berjalan terus yang membuat kita terasa berbeda dan mengalami banyak masalah.

"Al, lihat deh, lucu!" Aku menengok menghampiri asal suara itu dan menghampiri Riani yang berusaha memasukkan jarinya pada jeruji kandang yang berisi kucing. Ia menyentuh hidung si kucing dan Riani tertawa renyah.

"Kamu mau?" tawarku dan matanya membulat. Lama dia tak menjawab. "Kenapa?"

"Saya mengira kamu ke pet shop untuk mengadopsi kucing untukmu sendiri."

"Ya. Memang," kataku mengangguk.

"Lalu?"

"Saya tidak pandai memilih."

Sudut bibir Riani terangkat sambil mengangguk. "Bagaimana kamu tahu saya pandai memilih?"

"Ya tahu saja. Yang kamu pilih, saya akan menyukainya."

Riani mengangguk saja dan berdiskusi sebentar dengan pemilik pet shop. Kini pilihannya jatuh pada kucing berbulu hitam di seluruh tubuhnya dan matanya yang berwarna oranye menyala.

"Apa kau tidak berpikir bahwa hidupmu tidak memiliki pilihan, Al?" tanya Riani sambil menatapku.

Oke, pertanyaan macam apa itu? Ya, seumur hidupku bahkan aku tidak memiliki kendali. Daripada memiliki pilihan dan itu menimbulkan masalah dalam hidupku, lebih baik mengikuti pilihan orang lain, seperti mencintai seseorang misalnya.

"Saya tak ingin ada masalah. Hidup cukup banyak masalah, kenapa saya harus membuat pilihan hanya untuk menyenangkan diri sendiri?"

Riani hanya berdecak. "Lalu kalau mengikuti pilihan orang lain, apakah ada yang menjamin bahwa dirimu tidak mempunyai masalah, Al?" aku tertegun dan Riani tersenyum bijak.

Ya andai, aku punya kendali dalam diriku sendiri, mungkin aku sudah melakukan itu sedari dulu. Tapi, aku hidup dengan cara orang lain melakukannya. Aku menatapnya melangkah pergi keluar dari pet shop dan pemilik pet shop menanyakan kucing tersebut untuk dimasukkan ke dalam mobil atau tidak. Aku pun mengangguk setuju. Aku berlari keluar pet shop dan sebelum Riani membuka pintu mobil, aku mendahuluinya dan membukakan pintu mobil untuknya. Dia menoleh kepadaku.

"Kau mau minum bir? Saya butuh saran."

Riani tersenyum dan mengangguk setuju. Beberapa menit kemudian kami berada di dalam mobil, dengan seekor kucing di jok belakang. Mobil berhenti di supermarket terdekat dan aku membeli beberapa kaleng bir, lalu mobil melaju cepat ke arah bukit bintang. Senja di ufuk barat mulai muncul dan ku lihat Riani tampak tertegun sebentar, menatap senja yang indah. Bukit bintang tempat yang cukup tenang, meskipun begitu ini adalah tempat rahasiaku dan Ulin, tapi, aku butuh tempat yang tenang untuk berbicara. Mobil berhenti dan Riani cepat-cepat membuka pintu. Menatap matahari yang turun perlahan, seperti anak kecil yang menatap ibunya untuk pertama kali. Dia menoleh kepadaku dan berdecak kagum.

My Senior DoctorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang