Ketika kamu merasa sendiri, aku harap aku menjadi jendela yang luas, membiarkanmu menatap langit jingga yang keemasan. Agar kau tahu, kadang ada keindahan yang hanya bisa dinikmati saat sendirian.
***
Rania Arsjad is calling...
Ponselku bergetar. Lagi-lagi nama Rania kini muncul di layar. Ponselku telah lama berdering, namun, kini berhenti kembali. Aku menatap layar lama dan kembali menulis report pemeriksaan.
You have 1 message
Rania Arsjad
Layar ponselku kini berkedip dan aku mengacuhkannya.
"Tukang kredit ya, Dok?" tanya Cici, residen yang paling cerewet tapi paling dekat denganku. Aku menggeleng dan tersenyum kecil.
"Ngeselin ya, Dok? Mana mbak-mbaknya sering maksa pula. Nggak tahu apa ya kalau kita juga lagi sibuk kerja..."
"Kamu lagi curhat?"
Cici menghela napas kesal. "Gimana mau mengusulkan kartu kredit, lha sekolah spesialis saja saya sudah miskin, Dok," keluhnya dan membuatku tertawa.
"Nanti kamu juga akan menikmati hasilnya, sabar saja," kataku menasehati. Walaupun begitu aku juga pernah berada di posisinya, ya meski bukan perkara uang, tapi, memang rasanya ingin menyerah karena capek.
Rania Arsjad is calling...
Aku menghela napas lelah. Sejak peristiwa di apartemennya itu, kami jarang berkontak. Aku juga bingung bersikap bagaimana lagi. Selain itu Rania juga tidak pernah berkunjung ke rumah sakit, sekadar mengobrol bersama dengan aku dan Ryan, padahal kliniknya dekat sekali dengan rumah sakit kami bekerja. Begitu juga dengan Ryan, entah kenapa dia juga menjauh dariku. Berkali-kali Ulin menanyakan itu dan menyarankan untuk meminta maaf, tapi, aku bingung meminta maaf untuk apa. Karena menyakiti Rania? Atau karena aku sahabat yang bodoh?
Bukankah Ryan yang bodoh? Kenapa sih dia tidak bilang sejak dulu kalau dia memang menyukai Rania?
"Angkat saja lah, Dok. Bilang sama mbak-mbaknya kalau memang nggak minat. Mbaknya pasti ngerti kok..."
Aku hanya nyengir. "Kan sudah saya bilang bukan tukang kredit..."
"Terus? Siapa?"
"Kamu harus tahu banget siapa yang menelpon saya?" tanyaku sewot dan mengubah seting ponsel menjadi silent mode. Lalu melihat notifikasi message dari Rania.
'Ri, ada yang ingin ku bicarakan. Bisa luangkan waktu?'
"Dalam pertemanan wanita dan pria, tidak ada yang murni karena mereka ingin berteman. Mereka ingin lebih."
Tiba-tiba kata-kata Ulin terlintas di benakku. Bagaimana Rania menyukaiku dan kebaikanku yang salah ia artikan. Apakah aku terlalu baik untukmu, Ran?
"Dokter Ari tahu ada gosip di Departemen Bedah Syaraf?" tanya Cici tiba-tiba.
"Maksud kamu?"
"Kemarin dengar kan ada peristiwa baku tembak di UGD? Serem yah, Dok? Dan tahu nggak, mereka juga hampir menembaki Dokter Ulin..."
"Itu kan sudah seminggu yang lalu, Ci..."
Cici menggeleng-geleng. "Iya tahu... tapi gosip yang saya dengar ya, Dok... kemarin ada pria yang sempat nyelamatin Dokter Ulin dan mereka naik mobil bersama. Mungkin kah itu pacarnya..."
"Kenapa kamu pikir begitu?" sambarku dengan cepat.
"Soalnya saya sempat melintas di depan departemen saat baku tembak, ketika saya sembunyi di troli makan... saya melihat pria itu menggandeng tangan Dokter Ulin tanpa dilepaskan. Dan oh iya, saat mereka bicara di balik tembok, si pria itu bilang 'aku akan melindungimu. Selalu.'" Aku menatap Cici dengan pandangan yang geli sedangkan Cici tersenyum malu. "Saya seakan melihat drama di depan mata, Dok!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Senior Doctor
ChickLitUlinda, dokter spesialis bedah syaraf akhirnya bertemu dengan dokter Ari, seorang dokter spesialis anak di bangsal anak-anak rumah sakit saat mereka internship. Mereka bertemu dengan masa lalu mereka di rumah panti tua sejak mereka masih kecil. Ulin...