"Kakak, kakak yang jemput Wili?"
Sasya memang rela menunggu sampai Wiliam pulang dan Wiliam sangat gembira saat melihat kakak nya berada di pintu kelas nya.
"Wiliii..." Sasya memeluk Wiliam lalu mengacak rambutnya gemas.
"Kita mau kemana, Kak?"
"Kemana aja Wili mau."
"Hore..."
"Tapi kita pulang dulu ya, nanti baju kamu kotor."
"Oke, kak!"
Mereka memasuki mobil lalu menuju Villa. Sesampainya di Villa, Sasya melihat Wiliam yang malah tertidur di mobil.
Sasya tersenyum dan mencium kening Wiliam dengan lembut.
"Sasya.. Biar Pak Deden aja yang gendong Wili."
"Nggak usah, Pak. Aku bisa kok." Sasya berusaha mengangkat tubuh Wiliam yang sudah pasti berat. Tetapi Sasya tidak menyerah, ia biasa melakukan ini. Dengan semangat Sasya menggendong Wiliam menuju karmarnya.
Ting
Siapa lagi yang dateng.
Sasya beranjak menuju pintu setelah menaruh Wiliam di kasurnya.
"Bu-bunda?"
Wanita itu langsung memeluk Sasya dengan erat.
"Bunda rindu kamu Sasya."
Sasya diam membiarkan tubuh nya berada didalam dekapan bunda-nya tanpa membalasnya. Tanpa ia sadari, sebutir kristal jatuh dari kelopak mata Sasya. Lalu menghapusnya sebelum pelukan itu lepas.
"Sasya, apa kamu nyaman disini? Kamu aman, sayang?"
Anasya menangkup kedua pipi Sasya sambil mengelus rambut Sasya berkali-kali.
"Bunda mau apa kesini? Gimana kalo Wili liat? Wili kangen sama bunda, bahkan mungkin dia lebih kangen dari pada aku. Kalo Wili liat bunda, udah pasti dia akan melampiaskan rasa rindunya. Dan aku tau, bunda gak suka dideketin Wili!"
Seakan membayangkan dengan apa yang dikatakan Sasya, Anasya memegang tangan Sasya.
"Kalo gitu kita bicara diluar." Sasya menarik tangan Sasya menuju mobil.
"Bunda tunggu! Aku nggak mau, Wili sendirian."
"Bi Rina? Temani anak kecil itu."
Anak kecil? Panggilan itu membuat Sasya melirik kecewa Anasya.
"Bun, aku nggak mau!" Sasya terus melepaskan tangannya dari Anasya.
"Sasya masuk! Bunda nggak mau marah sama kamu."
Dengan berat hati Sasya masuk mobil Anasya. Seburuk apapun Anasya, ia berusaha tidak akan membuat Bunda-nya sedih.
Bi Rina, pelayan yang mengikuti Anasya kemanapun ia pergi.
"Sasya, kamu tau kalo bunda itu sayang sama kamu. Sebenernya bunda gak bisa pisah rumah sama kamu."
"Kalo gitu ajak aku sama Wili pulang."
Anasya melirik Sasya sekilas lalu fokus lagi mengemudi.
"Sas--"
"Udah cukup bunda. Aku gak suka denger bunda mau pisahin aku sama Wili."
Anasya tidak bisa menolak segala keinginan putri nya. Termasuk tinggal bersama Wili.
"Oke, bunda nyerah. Tapi bunda minta satu sama kamu, kalo kamu butuh sesuatu. Kamu tetep bisa minta sama bunda."
Sasya menatap Anasya, lalu mengangguk pelan. Anasya, ibu yang dulunya terlihat sangat menyayangi Wiliam. Kini menjadi sangat dingin kepada Wiliam setelah tahu kenyataan.
Kenapa kenyataan harus sepahit itu.
"Kamu mau makan apa?"
"Terserah bunda."
Setelah sampai disebuah kafe, Anasya menggandeng Sasya masuk.
Setelah memesan mereka kembali berbincang, Sasya memang terlihat lebih banyak diam. Karena ia sangat ingin ada Wiliam.
Wili kan belum makan.
"Bun, Kita bungkusin beberapa makanan ya?"
Anasya menatap heran.
"Buat Wiliam!"
Setelah itu Anasya membuang tatapannya seakan tidak suka.
"Wiliam juga akan bahagia jika bersama tante nya. Di Amerika."
Lagi-lagi hati Sasya terasa sesak. Tidak bisakah bunda-nya merasakan sedikit yang ia rasakan. Sasya sungguh menyayangi Wiliam. Sangat.
Sasya beranjak ingin pergi setelah menatap Anasya penuh amarah. Anasya menahannya.
"Bunda minta maaf."
Sasya kembali duduk.
"Steve, itu bukannya Sasya."
Steve melihat kearah dimana jari telunjuk Sandi berarah. Setelah terlihat jelas itu benar Sasya, Steve justru malah merasa heran.
Itukan yang ada di foto. Tapi kok, Sasya keliatan nggak suka. Wiliam mana?
"Steve! Lo denger nggak."
"Iya gue denger."
"Nyokap nya cantik ya."
"Iya, Pan. Anaknya aja cantik." Ucap Refi yang langsung membuat Steve menghentikan aktivitas makan nya.
Lalu melirik kearah Refi."Santai, bro."
"Cemburu nih ye!"
"Mana ada!" Steve mengambil sebungkus rokok dari saku Sandi.
"Pinjem. Rokok gue di mobil."
"Yaelah, Steve. Kaya apa aja lo sama gue, bahkan yang udah lo kasih-kasih ke gue lebih dari itu."
"San, gue nggak suka ngungkit sesuatu yang pernah gue kasih ke lo."
"Kalo gitu lo juga harus gitu sama gue."
"Nggak cuma lo dong, San. Kita juga." Refi menepuk bahu Sandi lalu melihat Steve.
"Makan kali ini, gua yang traktir." sahut Arpan.
"Nggak usah. Gue aja."
"Bosen Steve ditraktirin lo."
"Yaudah!"
Sedangkan disana Anasya sedang berhati-hati untuk bicara pada Sasya. Ia tak mau putri nya itu jadi marah lagi akibat ucapannya. Sasya sedang melahap sesuap demi sesuap makanan yang tadi dipesankan oleh Anasya. Sedangkan Anasya menatap Sasya sambil tersenyum penuh arti.
Ia sangat merindukan Sasya. Tapi sekarang rindu itu tidak bisa ia lampiaskan seluruhnya karena Sasya sangat menyayangi Wiliam.
"Habis ini kita Shopping bareng lagi ya?"
Sasya menaruh garpu dan pisau yang sejak tadi ia pakai untuk melahap makanan.
"Nggak bisa, Bun. Wiliam sendirian, aku harus pulang."
"Sas, makan kamu masih belum habis loh ini.."
"Aku nggak bisa lama-lama, Bun. Ayo pulang!"
Anasya menghela nafasnya kesal melihat anak nya kini tengah berjalan dengan langkah cepat menuju mobil. Harusnya ia memaklumi, karena sifat Sasya yang keras kepala dan tidak ingin keinginannya dibantah.
Dari kejauhan Steve begitu memperhatikan sikap Sasya yang begitu tidak akrab ke bunda-nya.
Ada yang dia sembunyiin.
Tapi, buat apa gue sok peduli. Hidup gue aja belum bener.
Ck! Lo nyimpan magnet apasih Sas. Lo selalu narik gue supaya ngedeket lo terus. Ini gak lucu!
➡️➡️➡️
KAMU SEDANG MEMBACA
Say You Love Me - Sasteve
Teen FictionKeputusan yang paling sulit dalam cinta adalah ketika aku harus memilih antara tetap bertahan atau harus melepaskanmu. - T A M A T -