Kesedihan, kecemasan, penderitaan. 3 kata itulah yang sekarang dapat mewakili masing-masing orang. Pinky, Kelly, Daren dan Anasya telah berkumpul, menunggu didepan ruangan Sasya.
Semua tidak percaya akan hal ini. Ini benar-benar memilukan.
Terlihat jelas mereka yang tengah sibuk sendiri dengan kegalauannya masing-masing. Tangisan mereka seolah ingin bersatu padu untuk menahan takdir yang dialami Sasya.
Tiga orang dokter dan beberapa orang perawat keluar dari ruangan itu, bisa dibayangkan betapa parahnya sampai 3 orang dokter yang menangani? Buruk sekali.
Anasya dengan cepat menghampiri dokter yang masih bertahan pada posisinya sedangkan yang lain sudah pergi karena tau bahwa satu dokter yang akan memberitahu keadaan Sasya.
"Andrew, gimana keadaan Sasya?" Ucap Anasya masih menangis. Ya, Andrew adalah adiknya alias paman Sasya sendiri.
Andrew melepas sebentar kacamata nya dan menghapus airmata yang mengalir begitu saja ke pipinya.
"Aku gak tau apakah Sasya bisa selamat atau tidak, kak. Benturan di kepalanya sangat keras, Sasya mengalami koma. Dan kemungkinan...."
".... Untuk hidupnya sangat kecil." lalu Andrew menyeka airmata nya. Keponakan nya itu terkenal baik, dan Andrew sangat menyayanginya.
"Nggak! Nggak boleh, Aandreeww!" Andrew memeluk Anasya dengan sigap. Anasya menangis terseguk.
"Masih ada yang harus kita bahas," sebelum Andrew membawa Anasya pergi untuk bicara, ia melihat beberapa teman Sasya yang sedang tidak baik.
"Kalian boleh masuk satu persatu, tapi jangan lupa disterilkan." lalu Andrew pergi berama Anasya.
Tanpa bicara Pinky langsung bergegegas memakai baju, sarung tangan dan mencuci tangan agar steril terlebih dahulu diikuti oleh Kelly. Sedangkan Daren masih diam, ia melamun.
Lo gak bisa buat kita semua hancur Sas, lo harus sembuh.
Saat Pinky dan Kelly masuk. Mereka tidak bisa menahan airmata. Alat itu, wajah itu, keadaan itu, membuat mereka ingin terus menangis.
"Sas, lo kenapa?" Ucap Pinky lalu berjalan duluan mendekat ke Sasya yang sedang koma.
"Sumpah demi tuhan lo jelek kayagini, lo keliatan aneh. Sasya seharusnya tau kalo Pinky gak suka Sasya tanpa senyum. Wajah lo pucat, lo lupa pakai bedak? Kalo emang lo maunya natural gak gini caranya. Ayo bangun, biar Pinky pakein. Sas, denger nggak!" nada parau Pinky semakin lama berubah menjadi isakan, Kelly memeluknya.
"Kita harus kuat demi Sasya, Pinky. Dia gak suka juga liat kita sedih, lo jangan terbawa suasana. Sasya baik-baik aja." Kelly mencoba untuk menegarkan bahwa sesungguhnya ia juga rapuh.
"Gu-gue nggak kuat, Kel." Pinky berlari keluar.
Setelah Kelly menatap Sasya, ia menutup mulut nya kuat-kuat dengan tangan, berusaha agar tangisannya tidak akan percah begitu saja. Dan Kelly juga lebih memilih keluar, Kelly tidak tega. Terlebih, mereka tidak percaya bahwa itu adalah Sasya. Sasya sahabatnya.
Daren terkejut mendapati Pinky dan Kelly yang tangisannya semakin menjadi saat baru keluar.
"Steve?"
Sesampainya Steve, wajahnya tanpa ekpresi, ia tidak bicara melainkan diam menatap semua orang secara bergantian. Setelah mendapat kabar dari Daren, Steve sama sekali tidak percaya. Sasya perempuan yang cekatan, tidak mungkin ia sampai seceroboh ini, pikir Steve.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say You Love Me - Sasteve
Teen FictionKeputusan yang paling sulit dalam cinta adalah ketika aku harus memilih antara tetap bertahan atau harus melepaskanmu. - T A M A T -