Twenty Seventh

24 6 0
                                    

Langkah kaki ku sengaja ku pelan kan ketika menuruni tangga,bukan untuk berhati-hati aku seperti tak punya nafsu makan 2 hari ini.

Aku melihat Mas Akbar yang hanya memandang nasi ayan didepannya,seperti tak ada keinginan untuk menyantap nasi itu.

"Mas,kok ngelamun?" Aku menarik kursi lalu duduk disitu.

Mas Akbar mendongak "Nggak papa. Kamu makan ya,nanti Mas anterin" ucap nya dengan senyum khas nya.

Aku mengambil nasi dan ayam goreng untuk ku makan. Tak ada yang berbicara hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring yang menggema di ruangan ini. Pagi ini aku kembali tak mendapati ayah ataupun ibu, sudah dua hari ini aku hampir tak menemui beliau. Sesibuk itukah mereka?

Aku memperhatikan dengan baik apa yang sedang di jelaskan oleh Pak Rama di depan,mengingat 2 jam pelajaran Pak Rama akan dibuat penjelasan,sementara satu jam terakhir dipakai untuk Ulangan. Pak Rama berjalan kesana kemari sembari menjelaskan materi sesekali beliau membenarkan kacamatanya yang melorot tak jarang ia menggoreskan spidol di papan tulis putih untuk penjelasan lebih mudah.

"Semua benda diatas meja masuk. Keluarkan bolpoin dan selembar kertas" pinta Pak Rama.

Serentak semua memasukkan buku yang ada dimeja. Pak Rama mulai membagikan selembar kertas soal. Tak banyak yang diberikan hanya 10 soal, cukup mudah untuk mengerjakan bagi yang mendengarkan penjelasan Pak Rama karena semua yang di jelaskan Pak Rama terdapat pada soal.

Kringg...

Bel istirahat yang berbunyi nyaring menandakan berakhirnya ulangan harian PKN ini. Aku mengecek kembali kertas berisikan jawaban milikku sembari menunggu Pak Rama mengambil kertasku. Setelah kertasku sudah diambil aku beranjak keluar dari kelas. Aku ingin segera mengisi perutku.

"Ren,kantik yuk!" Ajak Windi dengan semangat.

"Nggak puasa?"

"Enggak"

Aku menganggukkan kepala,lalu menggandeng tangan Windi menuju kantin. Setelah sampai aku mengedarkan pandangan ku untuk mencari meja yang masih kosong. Cukup sulit mencari keberadaan meja yang kosong. "Itu di deketnya tukang Batagor Ren" Windi menunjuk ke salah satu meja yang kosong.

"Rena. Gue curhat dong"

"Kenapa? Di PHP Kak anu lagi?"

"Ish! Bukan. Oh ya tapi kemaren gue dikode gitu masak ya kak itu nge kode yang intinya kalo dia itu punya rasa ke gue. Gue sih nggak mau ke PD an tapi ya gimana ya"

"Lo udah di PHP ratusan kali sama Kak itu. Gitu kok masih percaya"

"Iya sih. Ish! Gue bukan curhat ini"

"La apa?" Aku meneguk susu strawberry yang telah kebuka.

Windi menundukkan kepalanya,raut wajahnya berubah seketika "Gue dimarahin terus akhir-akhir ini"

Aku mengerutkan keningku "Maksud nya?"

"Ya gue disalah-salahin terus sama orangtua gue. Gue diem salah,gue banyak omong salah" Windi tampak akan menitihkan air matanya.

"Lo harus bersyukur,tanda nya orang tua lo itu peduli sama lo masih mau negur" Aku tersenyum getir lalu mengelus pundak Windi.

Bukan kah jadi Windi itu enak? Kedua orang tua nya peduli. Setiap hari dia diantar jemput ayahnya, setiap weekend dia bisa ketemu orang tuanya. Orang tua nya juga selalu peduli,memang cara setiap orang tua menunjukkan rasa kasih sayang nya berbeda. Ingin rasanya aku menjadi Windi. Mungkinkah?

"Kok lo berkaca-kaca?" Tanya Windi yang sudah mendongakkan kepalanya.

Aku mengelap kasar air mataku yang hampir jatuh "Ah enggak. Gue terharu aja denger cerita lo" Aku berbohong. Ya aku berbohong.

Windi hanya ber-oh ria.

×××

Laki-laki dihadapan ku masih sibuk dengan laptop nya, ia hanya mengalihkan pandangan nya sesaat lalu kembali mengotak-atik laptop berwarna silver itu. Sesekali dahi nya berkerut. Aku hanya menatapnya dari samping, rambutnya menari pelan di terpa tiupan angin senja ini. Malaikat baik yang selalu ada untukku, selalu mendengarkan segala keluh kesah ku, selalu bisa menghiburku.

"Ya ampun laptop nya lemot deh" keluh Mas Akbar yang mengacak-acak rambutnya frustasi.

Aku tersenyum kecil "Minta adek Mas"

"Mas nggak punya uang dek"

"Minta ayah kan bisa,nanti pulang pasti dibawain"

"Enggak,Mas mau mandiri"

Yaa,memang orangtua ku pasti akan memberikan semua apa yang ku minta tapi tidak untuk berkumpul bersama itu adalah permintaan tersulit yang bisa ku dapat. Percayalah kasih sayang lebih berarti dari materi.

Tatapan ku menemukan sosok wanita yang tengah sibuk mengoles roti dengan selai coklat dan seorang lelaki yang tengah memfokuskan tatapannya pada dokumen dokumen di tangannya. Ini masih pagi,percayalah setengah enam saja belum ada. Laki-laki itu meletakkan dokumennya dimeja,membuatnya bisa melihat ku berdiri di tangga.

"Rena,sudah bangun kamu nak?"

"Ayah sama ibu mau berangkat?"

"Iya nak. Perusahaan kita lagi repot-repotnya. Kita takut telat mangkanya berangkat pagi"

Aku berjalan menuruni tangga,tak menjawab ucapan Ibu ataupun ayah. Aku menarik kursi lalu duduk disitu.

"Rena kangen masakan nya Ibu"

Ibu terdiam,roti yang diolesinya tadi diletakkan di atas piring. Ibu duduk di dekatku. Merapikan rambut ku secara perlahan lalu mengusap pipiku pelan.

"Ibu bakalan masakin kamu. Tapi enggak buat sekarang"

"Rena juga mau makan bareng"

"Sayang, Ibu sama ayah nggak bisa lama-lama dirumah perusahaan benar-benar repot sekarang" Ibu melirik ayah sekilas.

"Yaudah" aku hanya menganggukkan kepala ku pelan.

Kurang apalagi perusahaan keluarga ini? Aku cuma pengen makan bareng apa susah nya? Entahlah,sepertinya pekerjaan menurut ayah dan ibu adalah yang nomor satu,bukan keluarga. Entah,apa aku bisa tau rasanya di antar jemput oleh ayah seperti Windi?

"Uang nya udah Ayah kasih ke Mas Akbar,kamu kalo mau beli makan minta aja ke Mas Akbar" pinta Ayah.

Aku hanya mengangguk. Aku tak butuh uang itu,aku maunya makan bersama bukan makan diluar. Ku tau akhir-akhir ini menu sarapan yang bukan ibu yang memasak,semuanya masakan Mas Akbar. Aku sangat mengenali ciri khas masakan ibu,lidah ku tak bisa dibohongi.

"Ibu sama Ayah berangkat dulu ya"

Aku mencium punggung tangan ibu dan ayah bergantian. Kedua orang itu berjalan menuju pintu depan aku masih menatap 2 punggung itu yang semakin lama mengecil dan hilang dari pandanganku. Setalah benar-benar hilanh dari pandanganku aku kembali masuk ke dalam kamar.

Aku merutuki keinginanku untuk membasahi tenggrorokkan ku yang kering tadi. Kenapa aku harus turun kalau ujung ujungnya aku bakal nangis? Kenapa aku jadi cengeng? Aku menghapus air mata yang mulai jatuh kepipi ku. Aku masih mengingat betul pesan Ata supaya aku kuat. Aku nggak boleh jadi cengeng kayak gini.

StrawberryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang