***
Diandra pulang dari rumah Arnold dengan emosi yang amat memuncak. Bisa-bisanya laki-laki itu membiarkan Diandra menunggu hingga jamuran sementara dia tidur dengan nyaman di kamarnya.
Jika tau begini Diandra lebih baik memilih ikut dengan Richard saja tadi. Awas saja jika dia mengajak Diandra dengan iming-iming untuk latihan piano di rumahnya lagi, dijamin 100% akan Diandra tolak mentah-mentah.
Diandra sudah merebahkan dirinya di atas kasur mengepalkan tangannya sambil membayangkan wajah Arnold. "Sumpah ya, kalo gue di kasih satu permintaan sama Tuhan gue bakal minta Tuhan buat nyabut nyawanya Arnold."
"Ihh kesel dasar nyebelin." Tidak disadari suara Diandra cukup keras.
"Diandra kamu kenapa?" tanya Diana yang mendengar teriakan Diandra.
"Engga papa bu, maaf." sahut Diandra.
Diana kembali melanjutkan aktivitasnya yakni menggambar beberapa design baju seperti yang ia lakukan setiap waktu luang. Meskipun menurut Diana hasil designnya jauh dari kata bagus tetapi ia tetap senang saat melakukan hobinya ini.
←→
Arnold terbangun entah karena apa, mungkin karna ia sudah cukup lama tidur. Arnold bangkit dan berjalan untuk mengambil air mineral lalu tatapannya tertuju pada obat yang ia beli tadi di supermarket dengan Diandra. Obat itu adalah obat untuk mencegah rasa kantuk, Arnold membelinya karna ia berencana untuk latihan piano bersama Diandra hari ini namun semalam ia harus menjemput ayahnya dan tidur larut malam. Jadi hari ini ia harus sebisa mungkin agar tidak tidur siang salah satunya dengan membeli obat ini.
Dan sebentar, kenapa obat itu masih berada di atas meja? bukankah seharusnya Arnold meminum obat itu?
Dan ini, Apa ia barusaja bangun tidur? Arnold yang masih mengumpulkan nyawanya segera melihat jam dan saat ia melihat jam di dinding kamarnya Arnold begitu terkejut karna jam itu menunjukan pukul 16:57.
"Diandra." gumamnya sambil berlari menuju lantai bawah dengan secepat kilat.
Arnold langsung menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru rumahnya. Kosong. Tidak ada tanda-tanda Diandra berada di rumahnya. Sofa dan meja yang berada di ruang tamu pun sudah bersih.
Bodoh. Mana mungkin Diandra masih menunggunya, ini sudah hampir pukul lima sore tidak mungkin Diandra mau menunggu selama itu.
"Bibii!!" panggil Arnold dengan suara super kencang sambil berjalan crpat ke arah dapur.
"Bib--" bi Siti sudah memenuhi panggilan Arnold saja.
"Aduh den ada apa teriak-teriak? pendengaran Bibi masih sehat Den." ucap bi Siti sambil menurunkan tangannya yang tadi sedang menutup telinga.
"Bibi kenapa gak bangunin saya? udah tau ada temen saya nungguin." Arnold menjadi kesal pada bi Siti padahal dalam hal ini dia sendiri yang bersalah.
"Bibi udah bangunin aden. Tapi adennya gak mau bangun."
"Ya Bibi kenapa gak bilang aja 'Den temennya nungguin di bawah' gitu, saya pasti bangun." Arnold masih keukeuh.
"Udah Den, tapi Aden malah bilang bibi buat nyuruh pulang temen aden itu." Jawab Bi Siti seadanya.
"Bibi itu kaya baru kerja disini tau gak? Bibi biasanya jago buat bangunin saya."
"Tapi tadi aden bener-bener gak mau dibangunin dan karna bibi juga kasian sama temen aden yang udah nunggu lebih dari tiga jam jadi yaudah pas aden bilang Bibi buat nyuruh temen aden pulang ya Bibi lakuin." bi Siti menjawab dengan lebih detail.
![](https://img.wattpad.com/cover/108818364-288-k165415.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Bullying [END]
Teen FictionWARNING: Cerita ini belum direvisi jadi maafkan kalo banyak typo ataupun tanda baca yang kurang/salah. Itu pasti mengganggu 'kan ya? Tapi semoga dibawa enjoy bacanya. hehe. ••• Menurut Diandra, apapun yang Arnold inginkan adalah sebuah keharusan yan...