#01: First Conversation

1.2K 132 16
                                    

Mentari hari ini cukup terik menemani siangku, sebenarnya masih sama seperti hari kemarin dan sebelumnya, tapi pulang sekolah kali ini aku sangat tidak bersemangat. Sebelumnya aku sungguhan diberi hukuman oleh Lee-ssaem, mengangkut puluhan kursi ke aula sekolah sangat menguras tenaga, dan aku melakukannya seorang diri karena memang hanya aku pula yang datang terlambat. Sialnya lagi, ibu pasti memberiku hukuman juga.

Mungkin hukumanku tidak begitu berat karena aku memang tidak bolos, tapi yang namanya hukuman tetaplah hukuman, tidak mungkin ibu menyuruhku tidur sebagai hukumannya, itu sih namanya keenakan.

Aku masih mendorong sepedaku enggan untuk menaikinya, dan jarak rumah ke sekolah itu sangat jauh sejauh mata memandang. Intinya cukup jauh dimana aku hanya bermodalkan sepeda yang lebih sering aku dorong layaknya gerobak pengangkut padi.

Aku bukan orang kaya, tapi tidak miskin. Aku punya segala yang aku butuhkan, hanya saja aku tidak banyak uang. Mungkin jika salah satu keluargaku jatuh sakit dan memerlukan biaya tinggi, barulah aku mengakui jika aku memang miskin. Tidak tidak, kami punya asuransi kesehatan.

Lagi pula ayahku sudah beberapa kali menawariku untuk beli ponsel, tapi aku selalu menolak. Aku mengatakan bahwa sebagai siswa kelas tiga aku harus lebih giat belajar, dan mereka bangga mendengar jawabanku. Sebenarnya aku ingin minta maaf karena faktanya aku tidak belajar sama sekali, aku lebih tertarik untuk melukis, menggambar, atau hal semacamnya. Dan aku juga ingin jujur saja, aku menolak membeli ponsel karena aku tidak tahu bagaimana cara menggunakan benda persegi itu. Nyatanya aku tidak hidup dalam kemewahan selama ini. Jadi aku sudah terbiasa tanpa alat canggih itu, bagiku hidup tanpa ponsel pun, taman akan tetap berbunga.

Setelah cukup lama berjalan, aku mulai merasa lelah karena rumahku masih cukup jauh, aku baru memasuki area pesawahan dan jaraknya kira-kira masih satu kilometer lagi. Tidak sih, sebenarnya itu jarak rumah Yoona, rumahku masih satu kilometer lebih jauh.

Melihat pemandangan indah yang kulalui, aku berhenti lalu menjatuhkan sepedaku di pinggir jalan, setelahnya aku duduk dengan buku gambar dan alat mewarnai di kedua tanganku. Mulai mencoret lembar kosong itu sambil sesekali mengadah ke atas langit.

"Selalu indah." Gumamku.

Aku sudah memberikan warna pada gambaranku, sedikit menambahkan gradasi untuk sentuhan akhir. Aku tersenyum melihat hasilnya.

Merasakan sinar matahari yang tidak lagi terik, kuputuskan untuk bergegas pulang karena ibu pasti akan menginterogasiku terlebih dulu sebelum menjatuhkan hukuman. Ya mau bagaimana lagi, aku tidak bisa menghindar dari apapun yang ibu lakukan, pada dasarnya aku sangat menyayanginya.

Aku memasukkan alat-alat yang tadi kukeluarkan ke dalam tas, lalu aku mendapati kanvas hasil lukisanku pagi tadi. Itu Yoona yang sedang menerawang ke atas langit. Aku tersenyum dan aku tidak yakin apa yang baru saja melintas di otak pria desa sepertiku. Salahkah jika aku merasa bahwa,

"...dia lebih indah."

***

Aku masih menggiring sepeda seperti menggiring induk kerbau, makin lama makin terasa melelahkan. Padahal aku bisa mengendarainya dan sampai rumah satu jam yang lalu. Tapi aku ini memang pembangkang, pada otak sendiri saja aku tidak nurut. Wajar saja terkadang ibu hilang kendali dan memukulku dengan kemoceng berdebu, setelahnya ibuku sendiri yang bersin-bersin. Bukan salahku loh ya.

Dari sekian banyak jalan, kenapa aku harus melewati rumah Yoona? Heol, karena dari sekian banyak jalan di dunia, hanya ada satu yang menuju ke rumahku, jalan lainnya adalah jalan besar menuju kota. Dan kota sudah jelas bukan rumahku.

Crazy Of You ✔ | YoonBaekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang