(Season II) Alcavarus

913 60 26
                                    

So guys, bertemu lagi dengan penulis amatir. Chapter ini di dedikasikan buat lagu-lagu Adele dan Shawn Mendes yang menemani penulis membuat bagian ini. kritik dan saran dipersilahkan, jika ada pertanyaan selain tentang cerita ini silahkan pm. akhir kata bon apetite

PS: Kira-kira wajah Alexander yang jadi ngenalin diri pertama kali sama Arthur kemarin seperti yang ada di foto

Arthur menatap kunci kamar yang ada di tangannya. Kunci itu terlihat terbuat dari emas, gagang kuncinya terukir seekor mermaid yang sedikit berkarat. Batang kuncinya terukir angka 127. Di ujung kunci tersebut bukan bergerigi melainkan berbentuk segitiga sempurna. Kunci tersebut indah dan memancarkan sihir tersendiri. Arthur menatap kunci yang baru saja diberikan padanya dengan tatapan kosong. Bukan fakta kalau mungkin kamar yang akan ditempatinya tidak sesuai ekspektasi, namun lebih pada fakta jika dia harus berbagi kamar. Satu-satunya orang yang dia perbolehkan berbagi kamar dengan dirinya adalah Alex dengan alasan jika ia kembaran Arthur. Arthur tidak takut jika teman sekamarnya tidur dengan bersuara atau suka membawa wanita ke kamar mereka – meski mustahil di asrama Alcavarus ini karena ada sihir yang melarangnya – hanya saja dia tidak suka orang lain tahu bagaimana menyedihkannya dia saat mimpi buruk datang.

Sistem asrama di akademi ini cukup membingungkan seolah dipilih secara acak. Terdapat empat asrama yang diwakili empat simbol yang Arthur lihat hampir di setiap sudut kastil. Remora, asrama yang di tempati Arthur memiliki simbol seorang mermaid memegang cawan dengan kedua tangannya. Letak asramanya berada di belakang kastil bertepatan di dekat danau. Asrama itu dihubungkan dengan bangunan utama kastil oleh sebuah jembatan batu. Selain Remora ada asrama lain yakni Acronis, Gladius, dan Foreschez.

Arthur berjalan dalam diam. Pandangannya fokus terhadap pintu-pintu di sekitarnya. Dia mencari pintu dengan plat emas bertuliskan 127. Mungkin jika tidak ada orang di lorong tersebut, tidak akan ada masalah, namun para vampir itu memilih berdiri terdiam di lorong melihat sang pangeran vampir – yang mereka tidak tahu – berjalan seolah terhipnotis. Tidak ada suara selain langkah kaki Arthur. Arthur terlihat tidak terlalu peduli dengan tatapan para remaja yang menginginkannya.

Arthur sampai di lantai lima yang sepi ketika tiga orang pemuda menghadang jalannya. Tubuh ketiganya sama-sama dipenuhi dengan otot, terlihat dari bagaimana kaos hitam mereka memeluk ketat  tubuh mereka. Seolah mereka ingin memperlihatkan kalau mereka berkuasa. Wajah mereka maskulin dengan rahang yang sama-sama kokoh, tatapan tajam seperti elang, dan bibir tebal sewarna plum. Arthur merasa jika mereka bertiga memiliki hubungan darah.

"Lihat siapa yang Kita temui,Kyle!Andrew! Seorang penggila perhatian!" pemuda yang di depan sendiri berucap. Terlihat dari manik hijau Arthur jika orang di depannya lebih dominan dari pada yang lain. Manik esnya bertatapan dengan milik Arthur menilai dan menunggu reaksi Arthur.

Arthur bukanlah tipe orang yang suka mengancam orang ataupun manipulator seperti Leon. Adik bersurai pirangnya itu akan mempermainkan orang seperti mereka adalah boneka ang dapat dibuang kapanpun. Tetapi untuk kali ini Arthur sedang kesal. Dia butuh pengalih perhatian untuk melupakan masalahknya sejenak. Arthur ingat kata-kata Leon ketika mereka berlatih di lapangan pelatihan di istana paman mereka, wajahmu dapat digunakan untuk membunuh Art. Selama ini Arthur tidak pernah menggunakan wajah maupun penampilannya dalam hal apapun. Dia tidak tertarik, rayuan dan godaan bukanlah bidangnya. Akan tetapi sekelumit pikirannya mengatakan ini saat yang tepat untuk mencobanya. 

Arthur bergerak mendekati pemuda yang paling depan. Ketiga lebih tinggi dua atau tiga inci dari Arthur atau sekitar lima sampai tujuh sentimeter lebih tinggi. Mereka tinggi, mengingat Arthur sendiri memiliki tinggi 179 sentimer. Arthur memasukkan kuncinya ke saku celana jeans-nya. Pergerakan Arthur memunculkan ekspresi ketertarikan, manik mereka menyala terang di antara lampu sihir di dinding. Ketiganya melanjautkan kicauan mereka, Arthur tidak mendengarkan, hijau lautnya menatap lurus, menantang, kakinya tetap melangkah mendekati orang yang Arthur asumsikan pemimpin mereka. Arthur menarik kaos hitamnya dengan keras hingga pemuda itu sejajar dengannya. Arthur tidak tahu apa yang merasukinya atau mungkin ini efek dia terlalu lama bergaul dengan Leon. Arthur mencium pemuda di depannya dengan penuh paksaan.Arthur mengulum dan menjilat kasar bibir sewarna plum itu. Ketika vampir di depannya ingin membalas ciumannya, Arthur mendorong orang itu ke belakang dengan tangan kirinya hingga terjatuh di lantai dengan suara pelan menatap langit-langit. Mereka bertiga sepertinya masih terkejut dengan tingkah Arthur. Bahkan Arthur sendiri juga, karena Arthur tahu dirinya bukanlah orang yang suka bermain dengan perasaan orang secara sensual seperti itu–lebih tepatnya seperti Leon. Arthur melangkah pelan, dia berhenti ketika dia berdiri di samping kepala vampir yang baru saja diciumnya. Dia menoleh ke bawah sedikit menatap vampir bersurai hitam di bawahnya merendahkan, "Aku bukan penggila perhatian. Mereka yang memperhatikanku. Bukan salahku terlahir seperti ini, jika Kau sekali lagi mengolok-olokku, Aku yang akan membuatmu seorang penggila perhatian," Arthur memberi sedikit jeda sebelum melanjutkan," Itu berlaku juga untuk Kalian."

Neo BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang