(Season II) New Problems

980 67 38
                                    

Bertemu lagi dengan penulis amatir kita hehehe. Bagian baru dari HGHV, please enjoy.

Keon menatap bangunan luas itu. Mirip seperti kastil pamannya yang luas namun dengan aura yang lebih menyenangkan. Meski demikian, kastil pamannya punya kesan megah tersendiri yang belum bisa anak tengah itu temukan tandingannya. Gerbang bangunan itu terbuat dari besi dan kayu coklat gelap yang menjulang hingga ketinggian 6 meter. Dinding batu yag tinggi mengelilingi bangunan itu. Ketika melewati gerbang yang dijaga beberapa vampir, bangunan yang tadi hanya terlihat menaranya saja terlihat utuh menimbulkan kesan prestisius tersendiri dengan dihiasi bendera 4 warna. Jangan melupakan jalur utama menuju kastil yang dihiasi patung-patung batu. patung-patung itu terlihat seperti bidak catur, mulai dari pion, bishop, hingga ratu. Melewati patung-patung setinggi 2 meter itu, Keon bersama Arthur, dan Reon sampai di pintu gerbang kastil. pintu itu tertutup dngan dua buah patung batu menjaganya. Masing-masing dari mereka membawa pedang dan perisai, mata batu mereka menatap kosong ke arah mereka bertiga. Meski demikian, Keon merasakan rasa takut tersendiri. Dia merasa sesuatu yang salah ketika mereka melewati barisan patung-patung itu.

Tanpa Keon sadari tadi lengannya mencengkram lengan Reon gugup, "Kau tidak apa-apa?" Pemikiran Keon terbuyarkan oleh kalimat Reon. Pemuda bermanik langit itu mencoba menenangkan diri agar tidak membuat khawatir saudara-saudarnya. Sayangnya saudara kembarnya tetap akan tahu, "Tenanglah, patung-patung itu tidak akan hidup." Tepat ketika Reon berkata, bunyi derakan terdengar. Gesekan batu dengan batu terdengar bukan hanya atau dua tapi puluhan. Keon menatap Reon, si anak tengah menaikkan alis kanannya, menggoda adiknya yang mengerang.

Meski Keon mengatakan puluhan namun Leon dapat menghitung jika jumlah mereka ada 30 dirambah 2 raja di depan, sama seperti bidak catur. semua bidak catur itu seolah menatap mereka dari bola mata batu. Mereka bertiga mundur, menjaga jarak dari raja yang melindungi pintu. Secara sigap, Keon menggenggam kalungnya. Manik biru langitnya melirik Arthur yang tidak banyak bicara sejak tadi—bukan, lebih tepatnya sejak Arthur kembali dari ruang mahkota bersama Leon beberapa hari yang lalu. Ekspresi mereka berdua keras, seolah menahan diri untuk tidak meledak. Arthur sudah siap dengan kedua pedangnya, manik hijaunya terlihat menggelap tanda kesal. Tanpa diduga pemuda bersurai pasir itu, Arthur melemparkan pedangnya yang berbilah biru gelap ke arah kedua patung bidak raja. Ketika pedang itu menancap di lantai, gelombang dingin menguar menyelimuti kedua patung raja itu dengan es dalam sekejap. Arthur mengayunkan pedangnya satu lagi yang bilahnya terlihat seperti kristal. tebasan Arthur membuat air di udara berkumpul menciptakan pisau air yang mengikuti arah tebasan Arthur. Dalam detik berikutnya patung kedua raja itu menjadi puing. Keon menatap sekeliling, patung-patung yang lain, mereka berhenti bergerak.

Gerbang besar itu terbuka. menampakkan ruangan luas di baliknya. Keon melirik kedua saudaranya, mereka berdua kembali dalam mode siaga setelah melihat seorang pria yang terlihat berumur 20—Keon tidak mau salah lagi menebak umur—dengan surai merah berantakan dan manik biru elektrik. Dia berjalan dengan penuh pesona, namun gagal ketika tatapannya jatuh pada mereka—atau lebih tepatnya pada Arthur. Keon tahu tatapan itu, tatapan menginginkan seperti para gadis di sekolahnya dulu. Pria itu kembali berjalan ke arah mereka setelah tersadar dari pesona Arthur. Pria yang sedikit lebih tinggi dari Keon itu tersenyum ramah, "Saya bukan musuh, turunkan senjata Kalian."

Kebenaran yang harus diungkap tentang Keon. Dia tidak mengerti apa yang harus dilakukan di situasi seperti ini. Tidak seperti Arthur maupun Reon, pengalamannya masih nol, lagipula Leon dan Arthur—untuk pertama kalinya mereka setuju pada hal yang sama— masih melarangnya untuk ikut berlatih bersama mereka. Keon merasa ditinggalkan oleh saudara-saudaranya. Dingin dan kesepian ketika dia melihat saudaranya berlatih dari jendela di kamarnya.

"Kita sudah sampai," ucapan pria bersurai merah itu menyadarkan Keon. Dia menatap ke arah bintu besar di hadapannya. paling tidak pintu batu itu setinggi empat meter. terdapat beberapa ukiran yang menghiasi. Di pojok kanan atas terdapat ukiran seekor ular naga—atau Keon lebih melihatnya sebagai naga dalam mitologi Cina— yang melilit sebuah tongkat. Di bawah ukiran itu terdapat ukiran seekor singa yang duduk di singgasana dengan mengenakan mahkota. Di kiri bawah terdapat ukiran seekor gagak gagak yang mencengkram gulungan dengan sebuah cincin di paruhnya. ukiran terakhir ada di kiri atas adalah seekor mermaid yang duduk di batu—seperti patung little mermaid bisikan Reon pada Keon— dengan membawa cawan. keempat ukiran itu dipisahkan oleh garis yang terlihat seperti belitan akar pohon, melintang dan membujur. "Maaf Saya lupa memperkenalkan diri," pria itu melirik Arthur seolah memberi alasan jika Arthur yang menyebabkannya lupa, "Nama Saya Nigel."

Neo BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang