(Season II) Try II

460 51 5
                                    

maafkan, sibuk-sibuknya buat persiapan PKL bulan februari nanti. bulan-bulan kemarin ngedeathline proposal. Doain aja semoga longgar hehe

Keon meringkuk di pojok tempat tidur Reon. Masih teringat jelas perkataan Klein siang tadi, orang asing, sebuah belati menusuk jantung Keon. Seberengsek itu dirinya hingga membuat anak orang membencinya.

"Sampai kapan Kau akan terus mengasihani dirimu?" Keon mendongak, mendapati adiknya yang baru keluar dari kamar mandi berjalan dengan santai ke arahnya. Pemilik manik langit itu mendengus mendengar perkataan adiknya. Tidak memberi dukungan atau menghiburnya, adik kembarnya itu hanya mencomoohnya dari tadi.

"Jika Kau benar laki-laki temui Dia! Jangan menjadi pengecut terus menerus lari dari masalahmu."

"Mudah mengatakannya, bukan Kau yang melakukannya," Keon menjawab dengan kasar. Kesal juga adiknya mengatakan hal tersebut dengan mudah. Memangnya menghadapi orang yang disukai mudah?

Reon mendekati Keon setelah memakai pakaiannya. Keon memandang tajam adiknya, ketika legannya disentuh Reon, sekali lagi Keon merasa tenggelam ke dalam air dingin. Adiknya ini suka sekali menggoda dirinya yang sangat tidak nyaman dengan perjalanan bayangan. Ketika mereka keluar dari bayangan, Keon mengambil nafas banyak-banyak. Adiknya memang berengsek terkadang.

Cahaya bulan musim gugur menyinari tengah ruangan lewat kubah kaca di tengah ruangan, manik langit Keon mendapati jejeran violin, cello, clarinet, dan lainnya tersegel di dalam masing-masing kotak yang di letakkan di dalam lemari kaca, tiga buah harpa dan sebuah grand piano berwarna putih di biarkan di tengah ruangan. Untuk sejenak Keon melupakan masalahnya, tangannya gatal untuk memainkan piano itu. Dia melirik Reon yang hanya dibalas anggukan oleh adiknya tersebut. Apapun itu, memang hanya saudaranya yang mengerti dirinya.

Langkah kaki Keon bergema di dalam ruangan. Tubuhnya terasa ringan, raut mendungnya tadi berubah berubah menjadi secarah langit musim semi. Keon mengelilingi alat musik besar itu. Indah, Keon berbisik. Meski dari jauh terlihat hanya piano polos, jika dilihat lebih dekat, piano tersebut memiliki ukiran halus di setiap bagiannya, Keon tidak mengerti tapi terlihat seperti sebuah huruf-huruf yunani. Ose tiba-tiba muncul di dekat Keon, ikut meneliti piano putih itu. Ya, rukh yag dipanggil Keon tidak adan kembali sebelum menyelesaikan tugasnya, kecuali terluka sangat fatal atau dipaksa pulang oleh Keon, paling tidak itu yang dikatakan Solomon padanya.

Keon menyentuh piano tersebut, tidak ada debu yang menempel meskipun terlihat ketiga harpa yang terletak tidak jauh dari tempatnya tertutup lapisan debu tipis, aneh. Keon duduk di depan piano. Pangeran itu melihat simbol matahari di penutup tuts piano, Keon berguman mengernyitkn dahi, Apollo? Entah kenapa melihat simbol itu Keon teringat dewa musik itu. Pemilik surai pasir itu membuka penutup tuts piano, dia menekan satu tutsnya, untuk sesaat dia merasakan alat musik itu bergetar. Ada rasa takut yang menggerogoti hati Keon, namun dia tepis karena merasa seolah piano itu memanggilnya. Keon terdiam sebentar sebelum jarinya mulai bergerak sendiri, menari di atas tuts-tuts piano, Moonlight Sonata karya Beethoven. Keon menutup matanya, membiarkan suara dari piano menghibur telinga dan pendengar khayalannya.

Pintu yang dibuka dengan kasar membuyarkan permainan Keon. Manik langitnya menatap tajam pada pengganggu yang tiba-tiba datang merusak konser solonya. Siluet itu, Keon mengenalnya, orang yang mencoba menyakitinya di hari pertama dia di Alcavaruz.

"Apa yang Kau inginkan?" kalimat Keon tajam, tidak seperti dirinya di hari pertama. Perasaannya sedang meledak-ledak meminta untuk disalurkan.

"Dimana Arthur?" vampir laki-laki terlihat kacau. Kemeja putihnya berkerut, dasi merahnya dilonggarkan, dan rambutnya berantakan. Nafasnya terdengar terengah dari tempat Keon duduk.

Neo BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang