[42] : Maaf, Relin

1.4K 120 69
                                    

-EMPAT PULUH DUA-

Maaf, Relin

==========

Play instrument di media kalau mau lebih nge-feel.

==========

Setelah serentetan pengobatan yang di dapati di rumah sakit, akhirnya Loli diizinkan untuk pulang. Meski begitu, mengingat penyakitnya yang semakin parah, Loli masih harus rutin datang ke rumah sakit untuk melakukan check up.

Seturunnya Loli dari mobil, gadis itu berdiri diam memandangi rumah yang sekarang ada di depan matanya. Rumah dengan dinding berwarna abu-abu putih yang berkesan simple elegan ini sangat asing bagi Loli. Ia sama sekali tidak mengingat rumah yang selama dua tahun ini menjadi tempat tinggalnya.

"Ayo, masuk." Mela yang menyadari perasaan Loli merangkul anaknya itu dan membawanya ke dalam. "Dibawa santai aja. Kata dokter kan lama kelamaan ingatannya akan balik sendiri."

Memang dokter mengatakan bahwa ingatannya selama dua tahun ini bisa kembali lagi, tapi itu hanya sebuah kemungkinan. Dokter sendiri tidak menjamin sepenuhnya. Loli pun tidak terlalu ambil pusing karena ia sendiri tidak yakin apakah ingatannya di kota baru ini penting untuk diingat atau tidak.

"Ini kamar kamu." Mela menunjuk pintu putih di sisi kanan ruangan. "Mama mau beres-beres dulu, kamu istirahat di dalam, ya."

Setelah ditinggal oleh Mamanya, Loli membuka pintu kamar yang tadi di beritahu. Nuansa biru-putih menyambut gadis berhoodie maroon itu ketika ia beringsuk masuk. Meski kamar ini berbeda dari kamarnya yang Loli ingat, tapi warna biru yang menghiasi membuat Loli merasa tidak asing. Ini mengingatkan kamarnya dulu yang mempunyai warna sama. Loli baru menyadari, meski ia pernah amnesia, ternyata selera warnanya tidak berubah.

Loli duduk diatas ranjang dengan lutut yang ia tekuk. Ia mengamati kamar ini sesaat dan akhirnya keheningan menyelimuti. Dalam sendirinya, ingatan yang memilukan kembali membayangi Loli. Gadis itu memeluk lututnya sendiri. Hingga detik demi detik, akhirnya air mata membasahi pipi.

Loli menutup mulut agar isakannya tidak terdengar. Gadis itu tidak ingin siapapun mendengar tangisannya. Bukan karena ia kuat, tapi ia hanya tidak ingin orangtuanya ataupun kakaknya menjadi khawatir lagi. Mereka sudah cukup sering mengingati dirinya agar tidak lagi bersedih, namun Loli belum bisa sepenuhnya bangkit atas kejadian dua tahun yang lalu.

Relin, gadis berhati lembut itu, tidak seharusnya pergi secepat ini. Relin mempunyai cita-cita yang ingin ia capai. Relin juga punya berbagai impian yang ingin ia raih. Loli bahkan masih ingat waktu itu, di bawah pohon rindang sekolah, dirinya, Relin, dan Hazel duduk bersama membicarakan cita-cita masing-masing.

"Gue kayaknya mau jadi seniman kalo udah gede."

Hazel yang duduk di sebelah Loli langsung mencibir. "Bikin garis aja gak bisa lurus, malah ngimpi jadi seniman."

"Biarin. Lagian jadi seniman gak ada syarat harus lulus bikin garis lurus." Loli memeletkan lidahnya mengejek Hazel.

Relin yang melihat kedua sahabat ini berkelahi hanya bisa menghela napas untuk menyabarkan dirinya sendiri.

Sementara Hazel hanya memutar bola mata malas dan menyenderkan dirinya pada pohon seperti yang Loli lakukan. "Cita-cita gue kayaknya mau jadi koki."

Relin dan Loli serempak mengerenyit mendengar ujaran Hazel. Mereka tahu Hazel memang pandai memasak, bahkan Loli sudah tahu sejak SD kalau Hazel punya passion di dunia dapur, hanya saja mereka masih tidak percaya Hazel menjadikan koki sebagai cita-citanya.

HELLO BYE-BYE✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang