Biskuit Warung
Kata mama, anak cewek harus bangun pagi walaupun liburan. Kata aku, liburan itu waktu santai, jadi bangun siang saja. Tapi, lain ekspektasi dengan realita, ujung-ujung disuruh bangun pagi buat solat tahajud sekalian namatin baca alquran juz 1. Kata mama, bulan puasa itu harus banyak-banyak mencari amal kebaikan, amal kejahatan harus dihanguskan. Tapi, aku masih tetap sering berbohong ke mama soal tidak memegang gadget. Tidak ada gadget tidak ada kerjaan, menurutku. Tapi, menurut mama, gadget itu tidak ada faedahnya klo digunakan lebih dari 2 jam.
Hidupku seperti anak militer, di hitung waktu mandi, makan, dan main gadget. Main keluarpun bisa dihitung pakai stopwatch. Jalan harus tegap dan mata menatap ke depan. Bukan menatap ke bawah, itu kata papa. Papa bilang, kalau jalan menunduk kayak anak pesantren.
"Jalan yang tegap, kalau jalan jangan nunduk ..." menyesap secangkir kopi panas yang asapnya masih mengepul, "Kalau anak cewek lain yang jalan nunduk tidak apa-apa, mereka masih pantes. Masih keliatan kayak anak alim. Lah, kamu kayak tampang tidak punya harapan alias males." Ingin berkata kasar tapi itu papa.
Sekarang matahari sudah di atas kepala, rambut terasa gatal karena sensitif dengan terik matahari. "Benci panas." Fifa, kakak perempuanku, menoleh sambil tertawa kecil. "Waktu panas, benci panas. Waktu dingin, benci dingin. Semuanya saja kamu benci ..." menghela napas, "Harusnya kamu bersyukur masih bisa merasakan panas dan dingin, coba kalau gak bisa." Aku memukul bahu kakak tanda kesal dengan ucapannya. "Hush, jangan mendoakanku seperti itu." Bibirku mengerucut. Aku serasa berada diantara keluarga penuh nasihat dan aturan. Aku pernah sempat berpikir apakah aku anak pungut. Aku seperti terdampar. Apakah aku anak yang tertukar? Mama bilang, itu adalah pertanyaan paling terkonyol yang pernah didengarnya. "Jangan seperti FTV. Itu tontonan tidak mendidik." Padahal mama suka nonton FTV."Dek, beli makanan yuk, di warung Pak Haji Abrar." Ajak kakakku. Padahal badan loyo, kalau diajak ke warung waktu puasa, iman seperti akan goyah. Saat kami sudah sampai dan masuk ke dalamnya. Kakakku langsung memesan makanan yang akan dibawa pulang. "Bu, nasi kuning paket 1 beli 5 ya." Aku terduduk lemas sambil menatap sekeliling warung.
Sreeeng!
Bunyi wajan memekakkan telinga, ada rasa geli yang berjalan masuk ke telinga kanan dan kiri. Tapi, aroma nasi goreng membuat lapar. Perut terasa ingin diisi. "Eh, ada biskuit di atas piring. Tumben, tinggal satu, lagi. Ambil, ah." Di warung ini terdapat piring gratis di tiap mejanya. Maksudnya, apapun yang diletakkan di atas piring itu, berarti gratis. Tanpa pikir panjang aku mengambil biskuit berbentuk kotak itu, warnanya coklat. Tandanya biskuit itu rasa coklat.
"Eh, mbak, adeknya!" teriak ibu penjaga warung sambil memberikan 5 bungkus makanan yang dipesan Kak Fifa dalam satu kantung plastik. "Astaghfirullah, adek, jangan dimakan." "Bleh, biskuit apa ini. Rasanya kayak kain." Kak Fifa dan ibu penjaga warung tertawa mendengar ucapanku. "Ya jelas, itu kan, koyo cabe." Aku langsung membersihkan lidahku dengan tisu yang berada di meja dan membuang koyo yang ku kira biscuit ke bawah meja. "Makanya jangan mokel. Puasa itu harus tahan sama segala rintangannya." Wajahku merah menahan malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Become a Rebel
Short StorySatu langkah untuk memasuki dunia Rebellion. Bacalah karya yang tercipta demi menjadi The Rebels.