Haruskah?

880 23 0
                                    

Seorang pemuda yang berbaring di brankar sedang memandangi pemandangan di depannya sambil bergumam.

"Kapan terjadi seperti itu lagi?"

Ia hanya tersenyum.

"Jangankan melihat pemandangan seperti itu, aku saja tak tahu sampai kapan aku bisa melihat pemandangan disekelilingku."

Seorang dokter memasuki ruang rawat inapnya dan membuyarkan semua lamunannya.

"Bagaimana kondisimu?"
"Masih sama dan takkan pernah berubah."

Dokter itu tahu, dia sudah menyerah. Akan semua kesakitannya. Tapi, ia tak boleh membiarkan itu sampai terjadi. Ia tak ingin kehilangan pasiennya lagi. Terlebih, itu adalah keponakan yang dititipkan padanya.

"Hei. Jangan menyerah."
"Aku tak berkata seperti itu. Aku hanya tak tahu sampai kapan aku akan bertahan."
"Renn, kamu masih punya banyak waktu untuk melakukan segala hal yang kamu inginkan."
"Bagaimana aku mau melakukan hal banyak, kalau kondisiku saja seperti ini. Tergantung akan obat-obatan, rasa sakit yang menerjang setiap saat, belum lagi rasa benci yang harus kutanggung dari adikku sendiri."
"Kenapa kamu nggak mau membicarakan kondisimu padanya?"
"Percuma. Menatapku saja tidak. Apalagi mendengarkanku. Aku sudah mati baginya dan akan seperti itu."
"Renn, om nggak akan biarin kamu nyerah. Om akan selalu berusaha supaya kamu bisa bertahan lebih lama."
"Sampai kapan?"
"Sampai kamu benar-benar sembuh."
"Itu adalah hal yang percuma. Karena menurutku, mati adalah pilihan yang terbaik. Daripada kehidupanku yang tak berarti ini."
"Lalu bagaimana dengan Arthur?"
"Dia pasti sangat bahagia mendengar aku sudah tiada. Itu adalah hal yang diinginkannya. Hal yang membuatnya bahagia. Maka aku akan melakukannya. Karena aku pasti akan pergi."
"Renn. Kamu masih punya banyak orang yang mencintaimu. Om, Alexandra, maupun yang lainnya. Arthur takkan pernah mengerti, jika kamu tidak pernah membicarakannya."

"Mungkin, Arthur akan mengerti jika ia melihatku pergi dan takkan kembali."
"Renn, belum terlambat. Kamu masih punya waktu untuk menjelaskannya. Jangan pergi dan menyerah kalau kamu belum menyelesaikan pekerjaanmu. Karena itu adalah ciri seorang pengecut."
"Aku memang pengecut dan bodoh. Aku tak berguna. Arthur pantas membenciku. Harusnya aku yang pergi. Arthur benar, akulah penyebab mereka pergi. Orang-orang yang sangat Arthur sayangi." Ujarnya sambil terisak.

Reza langsung memeluknya. Memberikan ketenangan. Ia tahu, Renno rapuh. Ia serapuh-rapuhnya. Ia tak mampu menanggung semua rasa benci adiknya.

"Kamu pasti bisa, Renn. Pasti bisa."
"Aku nggak yakin akan itu."
"Kamu harus janji, kamu akan bertahan lebih lama lagi."
"Aku nggak bisa janji akan itu."

***

"Renno kemana 'sih? Sudah seminggu dan tak ada kabar. Aku 'kan jadi khawatir."

***

Sekelibat bayangan keluarga bahagia melintas dalam benaknya. Semuanya bahagia. Sebelum kepergian orang yang ia cintai.

"Harusnya loe nggak pernah ada dalam hidup gue! Harusnya loe pergi! Loe pergi sejauh-jauhnya dan jangan pernah kembali!" Ujarnya sambil menjatuhkan barang-barang yang ada di nakasnya.

***

"Kamu sudah boleh pulang hari ini."
"Untuk apa aku pulang? Kalau pada akhirnya aku akan kembali ke tempat ini lagi dan lagipula, tak ada yang mengharapkanku untuk pulang."
"Kamu boleh pulang ke rumah om untuk menenangkan diri."
"Nggak usah, om. Aku pulang ke rumahku saja."
"Kamu benar nggak apa-apa?"
"I'm sure."
"Kalau begitu, om antar kamu pulang ya."
"Iya, om."

***

"Kamu langsung istirahat. Jangan banyak pikiran. Okay?"
"Okay."

***

"Darimana aja loe? Seminggu nggak pulang?"
"Bukan urusan loe!"
Arthur bangkit dari posisi duduknya dan mendekati Renno.

"Badan loe bau obat. Muka loe juga pucet. Loe sakit?"
"Sejak kapan loe perduli sama gue? Udahlah. Gue capek. Gue mau istirahat!"
"Perduli? Ngapain gue perduli sama orang yang udah menyebabkan mama dan papa gue mati?"
"Sudah berapa kali gue tegasin sama loe, kalau gue bukan penyebab kematian mama dan papa!"
"Terus siapa lagi coba?!"
"Gue..." Renno menjeda ucapannya karena ia rasakan kepalanya begitu pening.

"Kenapa loe?! Nggak bisa jelasin?"
"Terserah loe! Mau percaya atau nggak, itu terserah yang penting gue udah ngomong kebenarannya!" Ujar Renno sambil mempercepat langkahnya menaiki tangga dan langsung bergegas ke kamarnya.

***

Ia terduduk. Ia tak mampu untuk menopang tubunya untuk berdiri. Ia memegangi kepalanya yang terasa begitu pening sambil terisak.

"Sampai kapan aku harus seperti ini? Apa aku harus tetap bertahan untuknya? Untuk orang yang tak pernah menggangapku ada?"

Ia menuangkan dua pil ke tangannya dan menelannya. Pahit ia rasa. Sepahit kehidupannya sekarang.

"Aku hanya ingin berhenti. Berhenti memperjuangkan segalanya."

***

Bersambung

Melepaskan Yang Terlalu Berharga (New Version) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang